Ngalaksa, Cara Masyarakat Rancakalong Sumedang Lestarikan Budaya Sultan Agung Mataram

Ritual Ngalaksa dan Tarawangsa di Rancakalong Sumedang
Tamu agung menari Tarawangsa bersama masyarakat Rancakalong, Sumedang, dalam ritual budaya Ngalaksa tahun 2017, lalu. dok/ruber.id

BERITA SUMEDANG, ruber.id – Zaman dahulu, di era keemasan Kerajaan Mataram. Masyarakat tatar Sunda, di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang mengalami paceklik. Kala itu, warga mengalami serba kekurangan bahan pokok. Terutama padi. Dari sinilah cikal bakal budaya Ngalaksa bermula.

Karena terus dilanda paceklik, tokoh masyarakat di Kecamatan Rancakalong akhirnya berembuk atau bermusyawarah. Dengan harapan, dapat memecahkan persoalan sekaligus mendapat solusi dari situasi yang tengah melanda wilayah mereka.

Berawal dari Ilafat, Mbah Jati Menemui Sultan Agung Mataram

Ketika rembukan tersebut, salah seorang sesepuh Rancakalong. Yaitu Mbah Jati, menerima ilafat (Tanda yang digambarkan melalui mimpi). Di mana, ilafat tersebut mengharuskan Mbah Jati berangkat ke Mataram. Dengan tujuan menemui Sultan Agung Mataram.

Singkat cerita, Mbah Jati berangkat ke Mataram. Teriring doa seluruh masyarakat Rancakalong. Di mana pada masa itu, wilayah Sumedang Larang, jatuh ke tangan Kesultanan Mataram. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung Mataram.

Baca juga:  Sekda Puji Program Ketahanan Pangan Kodim Sumedang

Setibanya di Mataram, Mbah Jati kemudian bercerita mengenai kondisi yang tengah dialami masyarakat Rancakalong.

Ngalaksa, Ritual Budaya Hadiah dari Sultan Agung Mataram

Mendengar hal ini, Sultan Agung Mataram kemudian menyarankan, masyarakat Rancakalong untuk mengembangkan budaya Mataram. Di mana, budaya ini harus dilaksanakan tiap, menjelang masa panen. Yaitu Ngalaksa.

Selain saran agar melaksanakan ritual Ngalaksa. Kala itu, Sultan Agung Mataram juga memberikan hadiah berupa benih padi. Mbah Jati pun membawa hadiah benih padi ini untuk ditanam masyarakat Rancakalong.

“Sejak saat itu pula. Setiap tahun, menjelang panen raya, masyarakat Rancakalong melaksanakan upacara adat, ritual budaya Ngalaksa,” ucap salah seorang tokoh masyarakat Rancakalong Odang Suryana. Panitia Ngalaksa dari rurukan Desa Cibunar, kepada ruber.id pada 11 Juli 2021, lalu.

Baca juga:  Lima Rumah di Cisarua Sumedang Rusak Parah, Puluhan Lainnya Terancam Ambles

Ngalaksa, Upaya Menjaga Kelestarian Budaya

Odang menjelaskan, ritual adat Ngalaksa hingga saat ini dilaksanakan setiap tahun bertujuan untuk melestarikan budaya. Di mana, ritual budaya Ngalaksa ini, dipercayara warga Rancakalong, secara batin dapat membuat Dewi Sri atau Dewi Padi, senang.

“Ngalaksa adalah membuat laksa. Sehinggq, arti dari ngalaksa ini yaitu membuat ribu atau Seribu. Sehingga, dalam ritual Ngalaksa ini, seribu jenis buah-buahan harus dikumpulkan. Akan tetapi, karena di Rancakalong ini, jenis buah-buahan yang ada tidak berjumlah seribu. Maka dalam pelaksanaannya, digenapkan oleh buah pisang sewu. Istilahnya dikenal pisang sewu untuk nyewukeun atau menggenapkan,” jelasnya.

Ngalaksa dan Tarawangsa

Uniknya, kata Odang, ritual budaya Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong ini, dilaksanakan seminggu penuh. Tanpa henti dan diisi dengan tarian khas Rancakalong. Yaitu Tarawangsa.

Baca juga:  Apes! Dada dan Gareng Ketahuan Maling Laptop di Wisma IPDN

Di mana, kata Odang, saat menari Tarawangsa, para penarinya silih berganti atau estafet. Akan tetapi, tariannya nonston dilakukan selama seminggu penuh. Tanpa henti.

“Penarinya boleh siapa saja. Boleh orang dari mana saja. Semua bisa turut menari bersama masyarakat Rancakalong. Termasuk, bupati, para pejabat, dan tamu agung lainnya. Hal ini lah yang membuat Ngalaksa di Rancakalong, unik. Dan hanya ada di Kecamatan Rancakalong, Sumedang saja,” ujar Odang. (CW-003/Arsip ruber.id)