Antara Perjanjian Linggarjati, Renville dan Awal Mula Agresi Militer II

Antara Perjanjian Linggarjati, Renville
Kapal perang milik Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Renville. Foto: Kemendikbud

KOPI PAGI, ruber.id – Perjanjian Linggarjati yang menyepakati wilayah de facto Republik Indonesia Serikat (RIS), tak menyelesaikan konflik Indonesia dengan Belanda.

Indonesia menuduh Belanda mengingkari perjanjian, begitu pula sebaliknya.

Belanda meneruskan operasi militernya, bahkan bergerak ke Jawa dan Madura yang merupakan wilayah RIS.

Pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan agresi militer besar-besaran yang dikenal dengan Agresi Militer I.

Agresi Militer I

Pada agresi militer I ini, Belanda juga membawa dua pasukan khusus.

Yaitu, Korps Speciale Troepen (KTS) di bawah Wasterling yang berpangkat Kapten.

Kemudian, Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar.

Agresi militer ini membuat Belanda berhasil merebut daerah-daerah penting.

Seperti kota pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan.

Peristiwa serangan Belanda ini membuat Indonesia akhirnya, secara resmi mengadu pada Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Karena, agresi militer tersebut sudah melanggar perjanjian internasional, yaitu Perjanjian Linggarjati.

Namun di lain sisi, Belanda tidak memperhitungkan reaksi dari dunia internasional termasuk Inggris.

Atas permintaan dari India dan Australia pada 31 Juli 1947, masalah agresi militer ini akhirnya masuk dalam agenda Dewan Keamanan PBB.

Baca juga:  Sejarah Palang Merah Indonesia

Kemudian, keluarlah Resolusi Nomor 27 tanggal 1 Agustus 1947.

Yang mana isinya, menyerukan agar menghentikan konflik bersenjata.

Komite Tiga Negara

Dewan Keamanan PBB, secara de facto kemudian mengakui eksistensi Republik Indonesia.

Bukti dari hal tersebut yaitu penyebutan kata “Indonesia” bukan “Netherlands Indie”.

Penyebutan kata Indonesia, terdapat dalam seluruh resolusi yang telah PBB keluarkan.

Kemudian, atas tekanan dari Dewan Keamanan PBB, Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan menerima resolusi tersebut.

Hingga pada akhirnya, Belanda menghentikan pertempuran pada 15 Agustus 1947.

Tanggal 17 Agustus 1947, pemerintah RI dan Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk melakukan gencatan senjata.

Untuk mengawasi gencatan senjata dan sengketa antara Indonesia-Belanda, akhirnya PBB membentuk Komite Tiga Negara (KTN).

KTN ini terdiri dari Australia sebagai wakil Indonesia (Richard C. Kirby), Belgia sebagai wakil Belanda (Paul Van Zeeland), dan Amerika Serikat sebagai penengah (Prof. Dr. Frank Graham).

Amerika Serikat mempertemukan Indonesia di kapal Perang Renville.

Baca juga:  Cerita Putri Cantik Prabu Siliwangi: Terkena Sihir Penyakit Kulit, Sembuh Setelah Mandi Air Laut

Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, mewakili Republik Indonesia.

Sementara Gubernur Jenderal Van Mook, mewaliki Belanda

KTN kemudian mengusulkan untuk mengadakan perundingan, yang berlangsung di atas kapal perang milik Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.

Maka dari itu, perundingan tersebut akhirnya dikenal dengan nama Perjanjian Renville.

Perjanjian Renville

Perjanjian di atas kapal perang tersebut, kemudian ditandatangani pada 17 Agustus Januari 1948.

Pada saat itu, Amir Syarifuddin berperan sebagai delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville.

Sedangkan Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo.

Hasil Perjanjian Renville

Belanda mengakui wilayah Indonesia atas Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian kecil Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera.

Tentara Republik Indonesia (TRI) harus mundur, dari daerah-daerah yang Belanda duduki.

Dampak Perjanjian Renville, sama halnya dengan Perjanjian Linggarjati.

Akibat adanya perjanjian ini, maka wilayah Indonesia menjadi semakin sempit.

Indonesia mengalami blokade ekonomi Belanda, pasca Perundingan Renville.

Belanda mencegah pasokan pangan, sandang, dan senjata ke wilayah-wilayah yang Indonesia kuasai.

Perjanjian ini, juga menyebabkan rasa kecewa di hati rakyat Indonesia.

Baca juga:  Daftar 44 Raja/Sultan yang Hadir di FAKN 1 Sumedang

Akibatnya, Kabinet Amir Syrifuddin yang pada saat itu berkuasa, dianggap telah menjual negara dan membuat kabinet ini runtuh alias tidak berkuasa lagi.

Agresi Militer II

Setelah Perjanjian Renville ditandatangani, maka muncul dua peristiwa penting yang terjadi di tanah air.

Pertama, terjadinya pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948 yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin.

Kedua, ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta.

Karena Jakarta, termasuk dalam wilayah yang dikuasai Belanda berdasarkan Perundingan Renville.

Tidak berhenti pada kedua peritiwa tersebut, beberapa bulan setelahanya.

Tepatnya, 18 Desember 1958 Belanda mengumumkan bahwa pihaknya sudah tidak terikat dengan isi perjanjian tersebut.

Kemudian, tanggal 19 Desember 1948 Belanda kembali melakukan serangan ke wilayah RI.

Serangan tersebut kemudian familiar dengan sebutan Agresi Militer Belanda II.

Serangan tersebut bermula, saat Belanda mengebom Lapangan Terbang Maguno, Yogyakarta.

Dalam waktu singkat, Ibu Kota Indonesia itu jatuh ke tangan Belanda.

Penulis: Eka Kartika Halim/Editor: Bam