BERITA CIAMIS, ruber.id – Di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia, kini datang krisis tidak percaya terhadap wakil rakyat dari ribuan mahasiswa dan masyarakat Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Krisis kepercayaan terhadap wakil rakyat tersebut lantaran dinilai tergesa-gesa dalam mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Koordinator Aksi Dede Aos Firdaos mengatakan, disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja dinilai cacat secara prosedur.
“Kami menilai UU Cipta Kerja tidak mementingkan kebutuhan rakyat,” kata Aos saat orasi di depan Gedung DPRD Ciamis, Jumat (9/10/2020).
Mestinya, UU Cipta Kerja dibahas secara detail dan merinci dengan pihak yang berkompeten. Karena banyak sekali kepentingan rakyat yang ada di dalamnya.
“Omnibus Law UU Cipta Kerja diperuntukkan menggerakkan sistem ekonomi nasional. Tapi memperhatikan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia sendiri,” ujarnya.
Aos menuturkan, di dalamnya ada hak perkerja atau buruh yang terpinggirkan. Cenderung liberal dan kapitalistik yang memudahkan kaum Corporate Asing untuk menguasai kekayaan alam dan SDM.
“Kejanggalan di dalam UU Cipta Kerja yang kami soroti mencakup bidang agraria, kesahatan dan ketenagakerjaan,” tuturnya.
Kemudian, di dalamnya ada penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan diganti dengan Upah Minimum Provinsi (UMP).
“Hal tersebut hanya akan menimbulkan kesewenang-wenangan pengusaha dan pemerintah dalam menentukan upah minimum,” tambahnya.
Beberapa Pasal Dalam UU Cipta Kerja
Dalam UU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61 dan 61A mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai.
Dengan aturan ini, kata Aos, UU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan.
Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, dinilai bisa mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.
Dalam Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) merupakan salah satu pasal yang bertentangan dengan Perpres Nomor 20/2018. Di dalamnya diatur, bahwa TKA harus mengantongi beberapa perizinan.
Seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS) dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
“Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja akan mempermudah perizinan TKA. Karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja,” sebutnya.
Kemudian, pembukaan izin lahan pada pasal 127 sampai pasal 154 UU Cipta Keja yang sangat mudah dikhawatirkan akan merenggut tanah masyarakat yang telah lama dikelola.
Lalu, wilayah adat yang terancam tergusur. Karena kekuasaan sistem yang korup cenderung mutlak tidak bisa mengajukan gugatan apapun.
Belum lagi Pengabaian Kualitas Kesehatan, Pengawasan Pangan, Program Akreditasi Rumah Sakit dan Klaster Rumah Sakit.
“Hal ini sangat vital lantaran pelayanan dan pengawasan kesahatan konsumsi masyarakat. Khususnya warga miskin akan terancam semena-mena dan tidak terkontrol,” terangnya. (R001/smf)
BACA JUGA: Demo Omnibus Law, Ini Tuntutan Mahasiswa Sumedang