BANJAR, ruber — Forum Reformasi Dinasti Banjar (FRDB) mencium dugaan adanya aktor intelektual yang bermain di belakang layar pemerintah. Aktor itu diduga mengendalikan kebijakan pembangunan Kota Banjar.
Sekjen FRDB Yani S. Permana usai hearing pekan lalu dengan eksekutif dan legislatif di Gedung DPRD Kota Banjar, bahkan mencium kebijakan itu mengarah pada praktik korupsi.
Beberapa temuan jadi latar belakang forum ini untuk menggagas dengar pendapat dengan komisi lll DPRD dan Dinas PUPRPKP Kota Banjar.
Di antaranya adalah temuan perencanaan yang diduga tidak beres dalam pembangunan tiga megaproyek. Tiga proyek puluhan miliar itu dianggap tidak konsisten dari perencanaan awal hingga finishing-nya.
“Ada tiga pembangunan yang kita pertanyakan dalam hearing kemarin. Soal Situ Leutik, Banjar Convention Hall (BCH), serta pembangunan Jembatan Citanduy III,” sebut Yani, Selasa (2/7/2019).
“Kami menemukan perbedaan dari perencanaan awal hingga perjalanan pembangunannya. Kami butuh kejelasan untuk tiga pembahasan ini.”
“Dari sisi anggaran, pembangunan ini menelan uang rakyat yang besar, namun dalam urgensi pemanfaatannya banyak hal yang tidak sinkron,” sambungnya.
Lebih spesifik dia menerangkan, proyek Situ Leutik buktinya. Dalam perencanaan awal, kawasan itu dibangun untuk pengairan ke sawah yang ada di Desa Cibeureum dan Desa Jajawar. Namun, pemanfaatannya saat ini untuk objek wisata.
Namun, usai pembangunan, lokasi itu dianggap tidak menarik minat wisata masyarakat Banjar khususnya. Padahal, Situ Leutik yang dibangun sejak tahun 2007 itu sudah menghabiskan anggaran sebesar Rp 24 miliar.
Kemudian yang kedua lanjutnya, soal pembangunan gedung BCH. Dilihat dari urgensinya, bangunan yang dulunya dinamakan gedung pertemuan ini belum memberikan efek positif bagi masyakarat.
Bahkan, setahun usai dibangun belum bisa menyumbangkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Kami mencatat, BCH sudah menghabiskan anggaran sekitar Rp 22 miliar. Kemudian yang ketiga adalah pembangunan jembatan Dobo.”
“Itu dari perencanaannya tidak jelas, ujug-ujug dibangun di wilayah Dobo, padahal dari pihak BBWS sendiri belum memberikan rekomendasinya secara tertulis untuk izin lokasi. Jembatan itu dibangun dengan anggaran sekitar Rp18 milliar,” ujar Yani.
Presidium FRDB Soedrajat Argadireja menambahkan, perencanaan pembangunan tiga proyek itu berubah-ubah. Baik dari teknis perencanaan maupun dari besaran anggaran.
Contoh katanya, pembangunan BCH, anggaran awal untuk membangun gedung itu diajukan ke DPRD sebesar Rp10 miliar. Namun tiba-tiba di APBD menjadi Rp15 miliar.
“DPRD saat itu tidak diajak badami. Lebih mengejutkan lagi, total pembangunan BCH itu habis sekitar Rp22 miliar beserta penambahannya. Karena memang banyak penambahan. Anehnya, itu masuk skala prioritas.”
“Padahal, masih banyak lokasi publik lain untuk disewakan. Kebijakan prioritas ini tidak sesuai perencanaan,” katanya.
Bahkan, tambahnya lagi, dinas terkait yang melaksanakan teknis perencanaan pembangunan tidak berkutik dengan adanya aktor dibelakang layar itu.
Seolah kata dia, pengguna anggaran didikte dalam merealisasikan pembangunannya.
Dia mengaku miris dengan kondisi pemerintahan di Kota Banjar yang disinyalir sudah ditumpangi kepentingan pribadi. Kepentingan itu katanya, bahkan bisa meramu kebijakan penguasa anggaran.
“Kami peduli dengan keberlangsungan Kota Banjar. Kepentingan masyarakat harus menjadi skala prioritas.”
“Kami tidak menginginkan pembangunan di Kota Banjar ini hanya untuk mengakomodir kepentingan satu kelompok, apalagi hanya untuk dikuasai oleh satu keluarga,” ungkap Soedrajat. Agus Purwadi