KOPI PAGI, ruber.id – Tanggal 5 Febuari, merupakan hari peringatan atas pemberontakan Kapal Tujuh Provinsi.
Peristiwa ini merupakan pemberontakan anti kolonial pertama, yang prajurit laut Indonesia lakukan.
Pemberontakan menentang kolonial Belanda terjadi di atas kapal angkatan laut Her Netherlands Majesty’s Ship (HNLMS), yang merupakan Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Kapal Tujuh Provinsi
De Zeven Provincien atau Kapal Tujuh Provinsi, digambarkan sebagai kapal perang terbesar milik Pemerintah Hindia Belanda.
Bahtera ini, berfungsi sebagai tempat karantina sejumlah marinir.
Baik dari bangsa Eropa, Belanda, juga bumiputera atau pribumi alias orang Indonesia.
Dalam Rondom de Muiterij op De Zeven Provincien (1934), J.C. Mollema menerangkan bahwa, kapal tempur tersebut juga sebagai tempat pelatihan para marinir pribumi.
Yang telah selesai studinya di Pendidikan Dasar Pelaut Bumiputera (Kweekschool voor Inlandse Schepelingen), Makassar.
Menurut J.C.H Blom dan Touwen Bouwsma dalam De Zeven Provincien: Ketika Kelasi Indonesia Berontak 1933 (2015), di kapal tersebut terdapat beberapa orang Indonesia.
Yakni Paradja, Rumambi, Gosal, dan Kawilarang.
Mereka bisa disebut sebagai para tokoh utama yang memprakarsai terjadinya peristiwa Kapal Tujuh Provinsi.
Latar Belakang Pemberontakan
Kehidupan ekonomi dunia, mulai menyusut pada tahun 1930-an.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang mengalami defisit, mengeluarkan informasi pengurangan gaji marinir atas usulan Gubernur Jenderal de Jonge.
Baru saja memasuki 1932, mereka yang bekerja di kapal upahnya turun sebesar 10%.
Gaji yang tidak seimbang antara pegawai Belanda dan pribumi, tetap dikenakan pengurangan yang sama persenannya.
Masih di tahun yang sama, pemotongan gaji kembali Pemerintah Hindia Belanda lakukan sebesar 7%.
Dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan (1984) terbitan Departemen Sosial RI, menerangkan bahwa, jumlah pemangkasan gaji menjadi 17%, dengan pengurangan sebelumnya.
Perencanaan pemotongan upah, tidak berhenti di situ.
Ketika pemangkasan ketiga mulai muncul, banyak pihak yang menolak.
Termasuk, Komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, J.F. Osten.
Pemerintah Hindia Belanda tiba-tiba mengeluarkan pernyataan dalam keputusan Koninlijk Besluit Nomor 51.
Isinya, adalah pemangkasan gaji yang resmi akan mulai berlaku pada 1 Februari 1933.
Para marinir, baru mengetahui kabar pemotongan ini pada 26 Januari 1933.
Pemotongannya sebesar 17%, bagi awak kapal dari kalangan bumiputera dan 14% bagi orang Belanda.
Di sebuah bioskop, para awak kapal berdiskusi mengenai kabar buruk tersebut.
Pada 28 Januari 1933, perbincangan tersebut berlangsung memanas mengingat terjadinya penangkapan 425 anak kapal di Surabaya.
Puncak Pemberontakan
Para pelaut Indonesia, kemudian melakukan aksi mogok pada 27 Januari 1933.
Mereka, menolak penurunan gaji yang Gubernur Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis De Jonge putuskan itu.
Kabar ini, terdengar hingga ke Kapal Tujuh, yang sedang berlabuh di Sabang, Aceh, melalui pemberitaan radio.
Tanggal 30 Januari 1933, pemogokan kerja kembali terjadi di Surabaya.
Para pemimpin pelaut Kapal Tujuh Provinsi di Aceh, melakukan rapat.
Mereka mengancam para ABK, untuk tidak meniru kejadian tersebut dengan nada ancaman.
Namun, hal tersebut justru membuat dua orang ABK yang berdarah Indonesia memimpin gerakan untuk memberontak di atas kapal.
Mereka, hendak membawa kapal ini ke Surabaya.
Tanggal 4 Februari 1933, terjadilah puncak pemberontakan di atas Kapal Tujuh Provinsi, pada pukul 22.00.
Para awak kapal berhasil membawa kapal perang tersebut, menuju Surabaya.
Pemberontakan yang berada di lepas pantai Sumatera ini, juga melibatkan bom-bom dari udara menggunakan pesawat milik Belanda.
Pada tanggal 5 Februari, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa.
Yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia (Melayu), yang memberitahukan bahwa Kapal perang Hr.Ms. De Zeven Provincien sudah diambil-alih oleh mereka dan sedang bergerak ke Surabaya.
Komandan kapal Hr.Ms. Java, Van Dulm, mengirimkan telegram ultimatum kepada kapal De Zeven Provincien untuk segera menyerah.
Tetapi, Martin Paradja dan kawan-kawan menolak untuk menyerah.
Menteri Pertahanan Kerajaan Belanda, Laurentius Nicolaas Deckers, memberikan izin untuk melakukan penyerangan dengan pesawat militer.
Martin Paradja, tewas pada saat pengeboman.
Total, ada 545 orang awak pribumi dan 81 awak Belanda ditahan.
Kemudian, sebanyak 20 orang awak pribumi dan 3 awak Belanda juga tewas akibat serangan bom di Kapal Tujuh Provinsi itu.
Penulis: Eka Kartika Halim/Editor: Bam