Kakawin Sutasoma dan Bhineka Tunggal Ika

Kakawin Sutasoma dan Bhineka Tunggal Ika Mpu Tantular
Kakawin Sutasoma Mpu Tantular. ils/net

KOPI PAGI, ruber.id – Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuno.

Kakawin terkenal karena setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.

Kakawin Sutasoma dan Bhineka Tunggal Ika Gubahan Mpu Tantular

Kakawin ini digubah oleh Mpu Tantular pada abad ke-14.

Kakawin Sutasoma menceritakan tentang Calon Buddha (Bodhisattva) yang dilahirkan kembali sebagai Sutasoma, putra Raja Hastinapura, Prabu Mahaketu.

Setelah dewasa, Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha.

Ia tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja.

Maka pada suatu malam, sang Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina.

Maka, setelah kepergian sang pangeran timbul huru-hara di istana.

Sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak.

Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah kuil.

Maka, datanglah Dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah diterima dan dikabulkan.

Kemudian, sang pangeran mendaki pegunungan Himalaya di antarkan oleh beberapa orang pendeta.

Sesampainya di sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.

Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau Kalmasapada.

Pada suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu hilang, habis dimakan anjing dan babi.

Lalu si juru masak bingung dan tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat.

Baca juga:  Sejarah Nintendo, Game Watch Paling Digandrungi Anak Zaman Dulu

Lalu, ia pergi ke sebuah pekuburan dan memotong paha mayat dan menyajikannya kepada sang raja.

Sang raja sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena dia memang reinkarnasi raksasa.

Kemudian, dia bertanya kepada sang juru masak, tadi daging apa.

Karena si juru masak diancam, maka dia mengaku bahwa tadi itu adalah daging manusia.

Semenjak saat itu, diapun gemar makan daging manusia.

Rakyatnya pun sudah habis semua, baik dimakan maupun melarikan diri.

Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan menjadi raksasa lalu tinggal di hutan.

Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada Batara Kala, jika dia bisa sembuh dari penyakitnya ini.

Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja ini tetapi ia tidak mau, sampai-sampai Dewi Pretiwi keluar dan memohonnya.

Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja. Maka berjalanlah ia lagi.

Di tengah jalan, ia berjumpa dengan seorang raksasa ganas berkepala gajah yang memangsa manusia.

Sutasoma hendak dijadikan mangsanya.

Tetapi, ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa gunung.

Si raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha.

Baca juga:  Objek Wisata dengan Nama Unik di Indonesia, dari Green Kenyot hingga Pantai Kutang

Bahwa orang tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.

Kemudian, sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor naga.

Naga ini lalu dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.

Maka akhirnya, sang pangeran menjumpai seekor harimau betina yang lapar.

Harimau ini memangsa anaknya sendiri.

Tetapi hal ini dicegah oleh sang Sutasoma dan diberinya alasan-alasan.

Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras.

Akhirnya, Sutasoma menawarkan dirinya untuk dimakan.

Lalu Sutasoma diterkamnya dan dihisap darahnya.

Tetapi setelah itu, si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan dia menangis, menyesal.

Lalu datanglah Batara Indra, Sutasoma dihidupkan lagi.

Kemudian, harimau ini menjadi pengikutnya. Maka berjalanlah mereka lagi.

Saat itu, sedang berperang sang Kalmasapada melawan Raja Dasabahu, masih sepupu Sutasoma.

Secara tidak sengaja, ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya pulang.

Ia akan dikawinkan dengan anaknya.

Lalu ia pun berkawinlah dan pulang ke Hastina.

Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi Prabu Sutasoma.

Maka, diceritakanlah lagi sang Purusada.

Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada Batara Kala.

Tetapi, Batara Kala tidak mau memakan mereka.

Ia ingin menyantap Prabu Sutasoma.

Lalu Purusada memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan, maka dia berhasil ditangkap.

Setelah itu, dia dipersembahkan kepada Batara Kala.

Baca juga:  Pantangan dan Mitos Malam Satu Suro atau 1 Muharram bagi Suku Jawa

Sutasoma bersedia dimakan asal 100 raja itu semua dilepaskan.

Purusada menjadi terharu mendengarkannya dan ia pun bertobat. Semua raja dilepaskan.

Kakawin Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Rajasanagara atau Raja Hayam Wuruk.

Tidak diketahui secara pasti kapan karya sastra ini digubah.

Oleh para pakar diperkirakan kakawin ini ditulis antara tahun 1365 dan 1389.

Tahun 1365 adalah tahun diselesaikannya kakawin Nagarakretagama sementara pada tahun 1389, Raja Hayam Wuruk mangkat.

Cikal Bakal Bhineka Tunggal Ika

Pada Kitab Kakawin Sutasoma tepatnya pada pupuh 139 bait 5, berbunyi sebagai berikut:

Rwaneka dhatu winuwus
Buddha Wiswa
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Bait tersebut menceritakan bahwa perbedaan yang terjadi antara Buddha dan Siwa bukanlah sebuah halangan untuk tetap saling mengasihi.

Sedangkan kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal.

Maka jika diartikan secara setiap kata akan muncul makna Bhineka yang bermakna ragam dan Ika bermakna satu.

Kemudian, jika digabungkan akan muncul makna meskipun berbeda-beda namun tetap satu.

Inilah rumusan yang dijadikan semboyan negara Indonesia oleh para pendiri bangsa.

Penulis: Eka Kartika Halim/Editor: Bam