KOPI PAGI, ruber.id – Kakawin Sutasoma adalah salah satu karya sastra terbesar dalam bahasa Jawa Kuno yang digubah oleh Mpu Tantular pada abad ke-14.
Kakawin ini, memiliki tempat istimewa dalam sejarah Indonesia karena salah satu baitnya menjadi semboyan nasional, Bhineka Tunggal Ika.
Karya ini, ditulis pada masa kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Prabu Rajasanagara).
Meskipun waktu pasti penulisannya tidak diketahui, para ahli memperkirakan kakawin ini ditulis antara tahun 1365, tahun diselesaikannya Kakawin Nagarakretagama dan 1389, saat Raja Hayam Wuruk wafat.
Kisah Bodhisattva Sutasoma
Kakawin Sutasoma, mengisahkan perjalanan hidup seorang Bodhisattva, calon Buddha, yang terlahir kembali sebagai Pangeran Sutasoma, putra Raja Mahaketu dari Kerajaan Hastinapura.
Pangeran ini, dikenal sebagai seorang yang sangat religius, mencintai ajaran Buddha, dan tidak tertarik pada tahta maupun pernikahan.
Melawan kehendak istana, Sutasoma melarikan diri untuk menjalani kehidupan sebagai petapa.
Dalam perjalanannya, ia menghadapi berbagai ujian, bertemu dengan makhluk-makhluk seperti raksasa berkepala gajah, naga, dan harimau betina yang lapar.
Dengan kebijaksanaannya, Sutasoma mampu mengubah makhluk-makhluk tersebut menjadi pengikutnya, setelah mengajarkan nilai-nilai kasih sayang dan pentingnya tidak menyakiti makhluk lain.
Konflik dan Puncak Cerita
Salah satu kisah menarik adalah pertemuannya dengan Raja Purusada, seorang raja yang karena kutukan menjadi gemar memakan daging manusia.
Purusada bertekad mempersembahkan 100 raja kepada Batara Kala agar penyakitnya sembuh.
Namun, Sutasoma menawarkan dirinya untuk menggantikan para raja yang ditawan.
Pengorbanan Sutasoma menyentuh hati Purusada, yang akhirnya bertobat dan melepaskan para raja.
Kisah ini menggarisbawahi pesan moral tentang pengorbanan, cinta kasih, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Asal-usul Bhineka Tunggal Ika
Frasa legendaris Bhineka Tunggal Ika berasal dari pupuh 139 bait ke-5 Kakawin Sutasoma. Bait ini berbunyi:
“Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
Maknanya menjelaskan, perbedaan ajaran Buddha dan Siwa bukanlah penghalang untuk hidup berdampingan dengan harmoni.
Kedua ajaran tersebut, pada hakikatnya adalah satu. Dari konsep ini, muncul semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Filosofi ini, menjadi dasar persatuan bangsa Indonesia yang majemuk.
Pesan Moral yang Abadi
Kakawin Sutasoma bukan hanya mahakarya sastra, tetapi juga sumber inspirasi kebangsaan.
Melalui cerita-ceritanya, Mpu Tantular menanamkan nilai-nilai universal seperti toleransi, cinta kasih, pengorbanan, dan persatuan dalam keberagaman.
Hingga kini, Kakawin Sutasoma tetap relevan sebagai warisan budaya yang mengajarkan pentingnya harmoni di tengah perbedaan.
Sebagai karya sastra yang melampaui zamannya, Kakawin ini mengukuhkan kebesaran peradaban Nusantara yang mampu menghadirkan ajaran luhur kepada dunia.***