GARUT, ruber — Industri tembakau merupakan salah satu penyumbang utama bagi kas negara. Bahkan, orang terkaya di Tanah Air ada yang berasal dari kalangan pebisnis tembakau.
Namun demikian, kenyataan itu masih berbanding terbalik dengan kehidupan petani tembakau di sektor hulu. Sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja masih kerepotan, dan masih jauh dari kata sejahtera.
Demikian pula yang dirasakan Mahdar, 46, petani sekaligus pengolah tembakau di kaki Gunung Cikuray, Desa Bayongbong, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut.
Mahdar merasakan beberapa persoalan petani tembakau yang perlu dibantu penyelesaiannya. Misalnya dalam hal budidaya, masalah sulitnya air di musim kemarau, yang masih menjadi kendala utama dalam produktivitas tembakau.
“Di musim kemarau seperti sekarang, secara cuaca sebetulnya bagus untuk tembakau. Tapi kita kadang kesulitan air. Kalau kurang air, panen tembakau jadi kurang,” kata Mahdar, saat ditemui di kediamannya, Rabu (26/06/2019).
Harapannya kepada Pemerintah, adalah agar hutan di kaki Gunung Cikuray dapat dijaga dari pembalakan liar. Sebab, menjaga hutan sama dengan menjaga persediaan air dalam tanah.
“Untuk sumber air di gunung itu sebagian didapat dari mata air. Kalau hutan habis dibabat, air jadi kurang,” katanya.
Kemudian, dia juga berharap pemerintah bisa membangun jaringan irigasi yang baik untuk lahan pertanian. Dengan demikian, produktivitas petani tembakau di Garut bisa semakin meningkat.
Persoalan selanjutnya adalah masalah harga tembakau yang dinilainya masih terlalu standar untuk mendapatkan kesejahteraan.
“Selama ini, petani memang tidak memiliki daya tawar dalam harga, karena masih ditentukan oleh bandar tembakau,” tuturnya.
Selama lima tahun terakhir misalnya, Mahdar hanya merasakan satu kali saja harga tembakau dihargai cukup tinggi sehingga mereka bisa menikmati jerih payah bertani.
“Namun selebihnya, harga tembakau hanya sekedar cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkapnya. fey