11 September, Hari Radio Nasional

Hari Radio Nasional 11 September
11 September diperingati sebagai Hari Radio Nasional. ils/net

KOPI PAGI, ruber.id – 11 September merupakan Hari Radio Nasional. Ini ditandai dengan kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI) yang jatuh pada pada 11 September.

Situs resmi Komisi Penyiaran Indonesia menjelaskan dihentikannya siaran radio Hoso Kyoku pada 19 Agustus 1945 menjadi pemicu lahirnya RRI. Mengapa demikian? Mari kita lihat sejarahnya.

Sejarah Radio di Indonesia

Radio yang tadinya hanya digunakan untuk mengirimkan sandi morse dan banyak dipakai di sektor kelautan dan perang, memiliki peran yang cukup besar dalam penyebaran informasi.

Perkembangan radio di Indonesia diawali oleh Batavia Radio Vereniging (BRV) pada 16 Juni 1925 di Batavia (kini Jakarta).

Sejarah panjang radio di Indonesia bermula ketika Belanda sadar akan efektivitas jalur komunikasi udara.

Dalam buku Sedjarah Radio di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Penerangan RI pada 1953, Belanda menggunakan radio untuk menyampaikan pesan seputar perdagangan.

Sadar akan potensinya, segelintir masyarakat Indonesia bercita-cita untuk memiliki saluran radio sendiri.

Dengan modal urunan seikhlasnya, akhirnya masyarakat Indonesia berhasil mendirikan Bataviase Radiovereniging (BRV) pada 16 Juni 1925.

Baca juga:  Pahlawan Cut Nyak Meutia, Pejuang asal Aceh yang Tak Kenal Menyerah

BRV menjadi radio pertama yang digunakan masyarakat Indonesia untuk melawan propaganda Belanda.

BRV menjadi inspirasi bagi sejumlah daerah untuk melahirkan radio-radio lokal.

Salah satu radio daerah yang paling berpengaruh adalah Solose Radiovereniging (SRV) yang berdiri di Surakarta pada 1 April 1933.

Kala itu, radio hanya bisa dinikmati oleh kalangan elite.

Hanya 20 bangsawan yang diketahui mendengarkan radio.

Seiring berjalannya waktu, radio terus berkembang dan bermunculan.

Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapyj (NIROM) mulai berdiri di Jakarta, Bandung dan Medan.

NIROM yang merupakan radio milik Belanda merasa khawatir dengan tumbuh suburnya radio lokal.

Alhasil, NIROM mengurangi subsidi yang sebelumnya diberikan kepada radio daerah.

Subsidi akan diberikan lebih apabila pengurus radionya bertambah.

Akan tetapi, pada masanya, pengurus struktural harus memiliki radio, yang mana setiap pemiliknya akan dibebankan pajak.

Karenanya, banyak radio lokal terpaksa gulung tikar akibat syarat yang melilit.

Di zaman penjajahan Belanda, banyak pula stasiun radio swasta yang hadir saat itu selain Nirom.

Baca juga:  Heboh Awan Ufo di Sumedang, Fenomena Alam Apa? Ini Penjelasannya

Beberapa stasiun radio swasta yang cukup populer adalah MAVRO di Jogja, EMRO di Madiun.

Kemudian, ada SRV di Solo, Radio Semarang di Semarang, VORO di Bandung, dan CIRVO di Surabaya.

Setelah Jepang mengambil alih Indonesia, radio-radio siaran Jepang mulai berkumandang di Tanah Air.

Selain untuk memberikan informasi, siaran radio juga sebagai propaganda Jepang untuk Indonesia.

Bom Hiroshima dan Nagasaki menjadi tanda runtuhnya Jepang atas Indonesia.

Berkat informasi radio, akhirnya Indonesia bisa segera merealisasikan kemerdekaanya melalui momentum proklamasi.

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 membuat anggota masyarakat mengalami kebingungan.

Ditambah lagi pada tanggal 19 Agustus 1945, siaran radio jepang yaitu Hoso Kyoku dihentikan.

Akibatnya, masyarakat Indonesia yang baru merdeka buta akan beragam informasi.

Di tengah kondisi seperti itu, radio-radio luar negeri mengabarkan bahwa Inggris akan melucuti Jepang.

Sekaligus menjaga keamanan hingga Belanda mampu menjalankan kekuasaannya.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Belanda akan kembali menjalankan kekuasaannya di Indonesia.

Oleh karena itu, maka orang-orang yang aktif di radio pada masa penjajahan Jepang sadar jika radio diperlukan sebagai media komunikasi pemerintah Republik Indonesia dengan rakyatnya.

Baca juga:  Peringatan Penting di Tanggal 14 Agustus: Hari Pramuka hingga Kemerdekaan Pakistan

Menyadari pentingnya keberadaan radio, delapan perwakilan eks stasiun radio Hosu Kyoku.

Yaitu Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto, dan Maladi mengadakan pertemuan tanggal 11 September 1945 pukul 17.00.

Mereka berkumpul di gedung Raad Van Indje Pejambon untuk membahas berbagai hal terkait pendirian radio.

Salah satunya adalah mengimbau kepada pemerintah untuk mendirikan radio yang bisa digunakan sebagai alat komunikasi.

Pertemuan tersebut menghasilkan kesimpulan, antara lain dibentuknya Persatuan Radio Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari delapan stasiun di Jawa.

Mempersembahkan RRI kepada Presiden dan Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat.

Selain itu, mengimbau agar semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui Abdulrachman Saleh.

Pemerintah menyetujui simpulan tersebut dan siap membantu RRI.

Inilah yang melatar belakangi Hari Radio nasional merupakan hari berdirinya Radio Republik Indonesia.

Penulis: Eka Kartika halim
Editor: R003