Sejarah Gajah Mada dan Sumpah Palapa

Gajah Mada Dan Sumpah Palapa
Patung Gajah Mada. ils/net

KOPI PAGI, ruber.id – Gajah Mada merupakan sosok penting yang membawa Kerajaan Majapahit menuju puncak kejayaannya.

Ia dikenal dengan sumpahnya yaitu Sumpah Palapa.

Sejarah Hidup Gajah Mada

Gajah Mada lahir pada 1299 di sebuah desa terpencil di tepi Sungai Brantas.

Sejak masih muda, Gajah Mada sudah menjadi ahli bela diri dan ilmunya pun tinggi.

Saat berusia 19 tahun, kariernya naik saat menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara (Pengawal Raja) pada masa Prabu Jayanagara.

Gajah Mada berhasil menyelamatkan Jayanegara saat terjadi pemberontakan oleh Ra Kuti.

Meski kemudian gagal menyelamatkan nyawa Jayanegara dari aksi pembunuhan yang dilakukan Tanca.

Pada masa Majapahit dipimpin Tribhuwana Tunggadewi, Gajah Mada diangkat sebagai Patih Amangku Bhumi (Perdana Menteri) pada tahun Saka 1258 atau 1336 M.

Patih Amangku Bhumi adalah jabatan tertinggi di bawah Raja Majapahit.

Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton.

Gajah Mada dan Sumpah Palapa

Sumpah Palapa berbunyi Lamun humus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, isun amukti palap.

Baca juga:  Budi Utomo, Sejarah Berdiri hingga Pembubaran

Dalam Bahasa Indonesia, bunyi Sumpah Palapa yaitu Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa.

Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikian saya (baru akan) melepaskan puasa.

Tujuan Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa adalah mempersatukan pulau-pulau di Nusantara.

Selama 21 tahun (1336-1357), Gajah Mada melaksanakan misi untuk menyatukan nusantara hingga akhirnya lebih dari 30 wilayah berhasil dikuasai.

Wilayah-wilayah tersebut adalah Bedahulu (Bali), Lombok, Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya).

Kemudian, Tamiang, Samudera Pasai, Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya.

Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas.

Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka.

Saludug, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalong, Tanjungkutai, dan Malinau.

Seluruh wilayah yang luas tersebut diayomi dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa, dan Mitreka Satata.

Yang artinya, meskipun berbeda-beda, tetapi tetap satu.

Sebab tidak ada dharma (kewajiban) yang berbeda.

Masa keemasan Majapahit berlangsung ketika Prabu Hayam Wuruk memerintah dan didampingi Gajah Mada.

Baca juga:  14 September, Sejarah Hari Kunjungan Perpustakaan: Geliatkan Budaya Gemar Membaca

Wilayah Majapahit pun semakin luas, yakni hingga mencapai Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi Gunungapi, Seram.

Hutankadali, Sasak, Batayan, Luwuk, Makassar, Buton, Kunir, Galiyan.

Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda).

Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Perang Bubat

Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dan Sunda Pajajaran pada 1357 mengakhiri kejayaan Gajah Mada.

Perang tersebut bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menjadikan putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi, sebagai permaisuri.

Namun, saat pernikahan hendak dilangsungkan, Gajah Mada menginginkan Sunda takluk dan menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan.

Akibat penolakan Sunda, terjadilah perang di Bubat, yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda.

Seluruh rombongan Sunda gugur dalam pertempuran dan langkah diplomasi Hayam Wuruk pun gagal.

Oleh karena itu, Gajah Mada dicabut dari jabatannya sebagai Maha Patih.

Pada 1359, Gajah Mada kembali diangkat sebagai patih dan diberi wilayah Madakaripura di Tongas, Probolinggo.

Gajah Mada meninggal pada 1364, karena sakit.

Dengan meninggalnya Gajah Mada, berakhir pula kebesaran Kerajaan Majapahit.

Baca juga:  Sejarah Hari Tritura, Awal Mula Orde Baru

Wajah Asli Gajah Mada Masih Kontroversial

Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial.

Penggambaran rupa Gajah Mada yang populer di media sebenarnya adalah imajinasi dari M. Yamin, di bukunya yang berjudul “Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara”, terbit pertama kali tahun 1945.

Ada pula gambaran lain soal sosok Gajah Mada, berbeda dari yang diilustrasikan M. Yamin.

Yakni hasil penelitian arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar.

Ia mengilustrasikan Gajah Mada selayaknya sosok Bima dalam pewayangan, yakni berkumis melintang.

Ia kebanyakan ditampilkan bertelanjang dada, memakai kain sarung, dan menggunakan senjata berupa keris.

Meskipun ini mungkin benar dalam tugas sipil, pakaian lapangannya mungkin berbeda.

Seorang patih Sunda menerangkan, seperti yang tertulis dalam kidung Sundayana, bahwa Gajah Mada mengenakan Karambalangan (lapis logam di depan dada, breastplate).

Berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.

Penulis: Eka Kartika Halim/Editor: Bam