Jejak Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Gunung Singkup Pangandaran

GUNUNG Singkup di Desa Bojongkondang, Kecamatan Langkaplancar Kabupaten Pangandaran. smf/ruber.id

PANGANDARAN, ruber.id — Gunung Singkup di Desa Bojongkondang, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Pangandaran merupakan tempat mengatur siasat dan bermunajat pejuang kemerdekaan Indonesia dibawah pimpinan KH Abdul Hamid.

KH Abdul Hamid akrab disebut Pa Ageung atau Ajengan Pangkalan sebagai pendiri Pondok Pesantren Al-Hamidiyah di Blok Cicau, Dusun Cigangsa, Desa Pangkalan, Kecamatan Langkaplancar.

KH Abdul Hamid lahir tahun 1908 di Dusun Majeti dari pasangan suami istri KH Abdul Ghani dengan Iti, dan merupakan anak pertama dari 13 bersaudara.

Cucu KH Abdul Hamid bernama Ajengan Ucu Saeful Aziz mengatakan, saat usia 6 tahun KH Abdul Hamid dirawat oleh Ibu Tarsijem kerabat Ibu Iti.

“Pada tahun 1916 saat Kiai Abdul Hamid berusia 8 tahun mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) selama 3 tahun di Kecamatan Langkaplancar,” kata Ajengan Ucu, Kamis (22/8/2019).

Ajengan Ucu menambahkan, pada usia 12 tahun kisaran tahun 1920, Kiyai Abdul Hamid menjadi santri di salah satu Pondok Pesantren di Kabupaten Cianjur selama 10 tahun.

Baca juga:  Lima Hari Jelang Coblosan, Logistik Pemilu 2019 di Pangandaran Belum Lengkap

“Selepas jadi santri di Cianjur pada usia 22 tahun sekitar tahun 1930 mesantren lagi di Pesantren Sumelap Tasikmalaya di bawah asuhan Kiai Udin,” tambahnya.

Sekitar tahun 1931 saat usianya 25 tahun, Kiai Abdul Hamid bermukim di Cicau hingga akhirnya pada tahun 1933 menikah yang ke satu dengan Nyai Raden Enok Umi Salamah putri salah satu Na’ib Raden Abdullah Gaos Cijulang.

Hasil pernikahan dengan Nyai Raden Enok Umi Salamah dikaruniai 4 orang putra diantaranya Endang Abdul Hanan, KH. Mukhtar Ghozali, KH. Abdullah Yusuf, Kiyai Asep Saefulloh Mujahid.

Sedangkan dari istri ke dua bernama Ibu Erat Cigugur dikaruniai 2 putri di antaranya Siti Maemunah atau Ai dan Euis dan dari istri ke tiga bernama Ibu Upah atau Ipah tidak dikaruniai keturunan.

“Selama bermukim di Cicau, Kiyai Abdul Hamid terus menegakkan dakwah Islamiyyah dan memberantas berbagai bentuk kemusyrikan yang saat itu masih sangat kental di masyarakat,” paparnya.

Baca juga:  Operasi Pekat Lodaya 2024 di Pangandaran, Petugas Gabungan Amankan Petasan

Salah satu bentuk dakwah yang dilakukan Kiai Abdul Hamid berhasil menghilangkan keyakinan masyarakat menyembah berhala yang terkenal dengan nama Panyembahan Karantenan hingga berhasil dihacurkan dengan berkah karomah Kiai Abdul Hamid.

“Pada tahun 1944 Kiai Abdul Hamid bergabung dengan Partai Masyumi. Tahun 1946 pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI membentuk laskar perjuangan yaitu Hizbullah dan Sabilillah,” jelasnya.

Hizbullah dan Sabilillah berlatih selama kurang lebih 5 bulan di Pesantren Cicau sebelum berangkat ke Bandung untuk  berjuang mempertahankan Kemerdekaan NKRI.

Kembali dari Bandung, pasukan Hizbullah dan Sabilillah memutuskan untuk kembali ke Langkaplancar.

Namun, karena kondisi masyarakat sudah berubah dengan masuknya faham baru yaitu Darul Islam (DI) yang tidak sejalan dengan pemikiran dan pemahaman Kiai Abdul Hamid, maka ia bersama laskarnya memutuskan untuk tinggal di Gunung Singkup sebagai tempat riyadhoh dan mengatur berbagai strategi.

“Karena Kiai Abdul Hamid menolak bergabung dengan DI maka dituduh berpihak pada Belanda dan dimusuhi, sementara pasukan Belanda sendiri terus berupaya mencari keberadaan Kiai Abdul Hamid untuk dibunuh,” kata Ajengan Ucu.

Baca juga:  Waspada! Aksi Pencurian Sapi Secara Tidak Wajar Terjadi di Cijulang Pangandaran

Bahkan, waktu itu Belanda menargetkan pembunuhan kepada para kiai dengan harapan salah satunya adalah Kiai Abdul Hamid.

Melihat gelombang fitnah semakin menjadi-jadi, para sahabat Kiai Abdul Hamid menyarankan agar ia pindah ke Daerah Karang Gedang Ciamis.

Atas usulan tersebut Kiai Abdul Hamid hijrah ke Karang Gedang, Kabupaten Ciamis dan bermukim di sana selama sekira 7 bulan, sampai akhirnya meninggal dibunuh gerombolan PKI bersama 3 santrinya.

Ketiga santri yang dibunuh oleh PKI waktu itu diantaranya Ajengan Sa’aduddin, Kiyai Zaenal Arifin dan Kiai Zaenal Mutaqin. Mereka difitnah bergabung dengan Belanda lalu diculik dan dibawa ke daerah Cigembor Ciamis. Di sana mereka dibunuh dengan kejam.

Kai Abdul Hamid wafat pada tahun 1949 dan dimakamkan di Dusun Karang Gedang, Kabupaten Ciamis bersama ketiga santrinya. smf