Fauna Menggugat di Sanggar Teater Ngaos Art Tasikmalaya

Teater Ngaos Art Tasikmalaya
Lantunan lagu dari pentolan Ngaos Art Tasikmalaya, Almarhum Haji Egi Azwul pukau penonton. ist/ruber.id

BERITA TASIKMALAYA, ruber.id – Kelompok teater Ngaos Art, Kota Tasikmalaya menggelar pementasan Ngaji Wirahma #3 bertajuk In Corcerto Nadom E Mayor.

Pagelaran berlangsung di sanggar Ngaos Art di Kampung Batalengsar, Kelurahan Nagarasari, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (16/10/2021) malam.

Dalam kesempatan ini, Ngaos Art menyajikam beberapa lagu dengan kemasan genre yang beragam.

Di antaranya berjudul Fauna Menggugat, Nadhom Toshiba, Almarhum Firaun, Olah Rasa, dan Layang-layang.

Lagu pertama yang mereka bawakan yaitu dari Almarhum Haji Egi Azwul, berjudul Fauna Menggugat.

Para penonton yang menerapkan protokol kesehatan ketat sebelum memasuki sanggar, sempat mengeryitkan dahi mendengar syair-syair lagu Fauna Menggugat itu.

Syair Fauna Menggugat

Semut yang kesemutan
Kambing hitam dikambing hitamkan
Gajah terkena kaki gajah
Kebo sendiri tapi kumpul kebo

Kenapa hewan selalu dikorbankan
Padahal kita hidup berdampingan

Cacing sedang cacingan
Udang berenang bukan sembunyi
Tikus baik tak berpolitik
Babi marah tidak membabi buta
Kenapa hewan selalu dikorbankan
Padahal kita hidup berdampingan.

Baca juga:  Objek Wisata Danau Lemona, Surga Kuliner di Tasikmalaya

Inspirasi Lagu Fauna Menggugat

Usai bernyanyi, Almarhum Haji Egi Azwul menjelaskan sejarah dan latar belakang inspirasi lagu itu.

Salah satunya, kisah semut yang mengadu kepada Nabi Sulaiman AS tentang perbuatan manusia yang merusak habitat semut.

“Nabi Sulaiman adalah raja yang bisa berbicara dengan semua hewan dan tumbuhan,” jelasnya kepada para penonton, teriring riuh tepuk tangan.

Selain itu, kata dia, dalam kehidupan sehari-hari, binatang selalu menjadi umpatan seperti “Anjing” atau “Monyet”.

Padahal anjing adalah binatang yang sangat setia terhadap tuannya. Seperti cerita dalam film Hachiko.

Bahkan, anjing ketika marah tidak pernah memaki menggunakan kata anjing.

Begitu pula dengan monyet. Mahluk mamalia yang hampir sama secara genetik dengan manusia. Seperti teori Charles Darwin.

Monyet ketika marah, tidak pernah mengumpat dengan kata monyet.

“Judul Fauna Menggugat ini adalah lagu perlawanan. Sama halnya dengan Soekarno terhadap Belanda, yaitu Indonesia Menggugat.”

Baca juga:  Pak Uu Minta Salat Tarawih di Jabar Ikuti Standar Aturan Pemerintah

“Kira-kira, kalau kita bisa berbicara dengan hewan-hewan itu, sebetulnya mereka berprotes terhadap manusia,” jelasnya sambil menebar senyum.

Lagu Nadhom Toshiba

Tepuk tangan dan gelak tawa para penonton juga menggema saat Ngaos Art mendendangkan lagu berjudul Nadhom Toshiba dan Almarhum Firaun.

Dalam Nadhom Toshiba, penulis menyebut sebagai metode pembelajaran mengeja huruf hijaiyah.

Selain itu, lagu ini juga merupakan keresahan penulis terhadap kemajuan teknologi tanpa terimbangi dengan kesalihan sosial.

Lagu Almarhum Firaun juga sempat membuat para penonton menganga saat mendengar lirik-liriknya.

Usai menyanyikan lagu itu, sang penulis lagu menjelaskan sisi negatif harus selalu ada, untuk mengimbangi yang positif.

Tokoh-tokoh dalam lagu, adalah interpretasi negatif manusia terhadap mahluk yang Alloh SWT ciptakan.

Setidaknya, dengan adanya tokoh Firaun adalah supaya menjadi contoh, agar kita tidak seperti dia.

Buktinya, Firaun Firaun milenial kini telah lahir.

Kebijakan politik merugikan masyarakat, sifat menjajah dan dzolim terhadap sesama.

Bahkan Firaun milenial bisa memperkosa anak kandungnya sendiri.

Baca juga:  Hallyu Com On, Harmonisasi Budaya Korea dan Lokal Tasikmalaya

Sifat-sifat kefiraunan ini justru yang harus hilang dari dalam diri manusia.

“Bukan merendahkan dosa Firaun. Dia (Firaun) itu dosanya sombong karena mengaku ‘Ana Robbukumul A`la’. Jika dibandingkan dengan dosanya Firaun Firaun milenial tadi, dosa Firaun asli sangat kecil,” tegasnya dengan nada serius.

Lagu-lagu yang mereka dendangkan mengundang beragam komentar.

Sebagian besar mendukung apa yang tersampaikan dalam lirik-lirik lagu yang terkesan nyeleneh itu.

AB Asmarandana, tokoh Ngaos Art misalnya, lirik-lirik yang dinyanyikan dalam beberapa lagu In Corcerto Nadom E Mayor mengharuskan pendengarnya berpikir jernih.

Begitu juga dengan pembawa acara Ridwan Hasyimi dan komentator Anggit Fitrian Munggaran yang menyebut lagu-lagu yang dibawakan In Corcerto Nadom E Mayor sebagai hiburan, tapi menambah wawasan pendengarnya.

Tawa penonton, pasti berakhir dengan berpikir jauh dan mengawang ketika tahu arti dan makna sesungguhnya lirik-lirik lagu itu.

Penulis: Andy Kusmayadi/Editor: Bam