Candi Cangkuang di Garut, Wisata sambil Belajar Sejarah

Candi Cangkuang Garut
Candi Cangkuang Garut, berwisata sekaligus tempat belajar sejarah. arsip/ruber.id

BERITA WISATA, ruber.id – Jika mendengar nama Kabupaten Garut, Jawa Barat, terbesit salah satu objek wisata budaya Candi Cangkuang. Lokasinya berada sebuah pulau. Tepatnya, di Situ Cangkuang, Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut.

Candi Cangkuang, merupakan situs peninggalan Hindu di Jawa Barat. Yang hingga saat ini, masih diminati wisatawan. Baik lokal maupun luar daerah.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Candi Cangkuang Wawan Kulnaedin mengatakan, situs Candi Cangkuang merupakan objek wisata yang unik. Di mana, pengunjung tidak hanya dapat menghabiskan waktu untuk rekreasi saja. Tetapi juga, akan mendapatkan berbagai pengalaman lainnya.

Seperti pengetahuan sejarah dan budaya Kampung Adat Pulo, juga menikmati pemandangan alamnya.
Dan untuk sampai ke candi tersebut, pengunjung harus melintasi Situ Cangkuang menggunakan rakit yang sudah disediakan. Sehingga menambah keseruan saat berwisata.

Sejarah Candi Cangkuang

Ditemukan oleh Ahli Purbakala Islam, Cangkuang merupakan satu-satunya candi di Jawa Barat. Ditemukan pada 8 desember 1996 oleh Ahli Purbakala Islam Uka Tjandrasasmita. Setelah dirinya, membaca buku karangan seorang Belanda Vooderman berjudul Notulen Bataviach. Di dalam buku itu, disebutkan terdapat peninggalan sejarah agama Hindu dan Islam di lokasi tersebut.

Baca juga:  Nasib Pejuang asal Pangandaran Ini Kini Terabaikan

“Di mana sejarah makam Arif Muhammad tersebut diperkuat naskah di dalam buku kuno Arab Jawa Kawi yang berada di Karang Pawitan,” ujar Wawan kepada ruber.id.

Di mana, kata Wawan, terdapat Arca Siwa sebagai tanda peninggal Hindu dan makam Arif Muhammad penyebar Islam di lokasi tersebut. Di mana letaknya saling berdampingan.

Setelah itu, keberadaan situs tersebut diteliti dan dipugar oleh CV Haruman, yang dipelopori Idji Hartaji pada 1967-1968. Pada saat itu, hasil penelitian menemukan pondasi candi berukuran 4.50 sentimeter yang diperkirakan dibangun pada abad ke 8.

Selanjutnya, pemugaran kedua dilakukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1974-1976. Di mana saat itu, diadakan penggalian dengan radius 100 kilometer dari pondasi candi. Untuk mencari batu-batu yang tersebar di sekitar lokasi.

“Setelah terkumpul, hanya terdapat 40% batu asli dari candi tersebut. Namun, mewakili bangunan candi setinggi 8.6 meter tersebut,” kata Wawan.

Baca juga:  AKP Sulman Aziz Penuhi Panggilan Bawaslu Garut

Sejarah Arif Muhammad dan Larangan di Kampung Pulo

Di sebelah barat makam Arif Muhammad. Terdapat sebuah kampung adat bernama Kampung Pulo. Keberadaannya, menambah bukti adanya penyebaran Islam di Desa Cangkuang.

Wawan mengungkapkan, Arif Muhammad merupakan utusan Sultan Agung Mataram. Beliau mendapat tugas menyerang Batavia yang saat itu diduduki seorang Belanda bernama JP, Coen.

“Namun, Arif Muhammad mengalami kegagalan. Beliau pun tidak kembali ke Mataram. Melainkan, mencari peristirahatan hingga sampailah di lokasi tersebut. Kemudian, ia mulai menyebarkan Islam. Di mana pada saat itu, sedang berkembang Hindu yang ditandai dengan Arca Siwa, ungkap Wawan.

Dilarang Membangun Rumah dengan Jure/Jelepong

Kampung Pulo, memiliki adat istiadat yang masih dipertahankan oleh masyarakat setempat. Yang tak lain, merupakan keturunan Arif Muhammad. Di antaranya, dilarang membangun rumah dengan bentuk jure/jelepong atau memanjang. Selain itu, juga dilarang memukul gong besar.

Larangan tersebut, berawal pada saat Arif Muhammad menggelar pesta hiburan khitanan putranya. Di mana saat itu, putranya diusung di atas tenda jure serta diiringi musik gong besar. Tapi tiba-tiba, muncul angin topan yang menerbangkan putranya itu hingga meninggal dunia. Semenjak itulah, larangan tersebut berlaku.

Baca juga:  Warga Petahunan Girang, Bukit Watu Kumpul Banyumas Jadi Lokasi Paralayang

Tidak Boleh Menambah atau Mengurangi Bentuk Rumah

Warga tidak boleh menambah atau mengurangi bentuk rumah. Selain itu, jumlah keluarga harus tetap sama. Enam perempuan yang dilambangkan dengan jumlah rumah dan satu laki-laki dilambangkan dengan masjid di kampung tersebut.

Dilarang Berziarah Hari Rabu dan Dilarang Ternak Hewan Berkaki 4

Dilarang berziarah ke makam Arif Muhammad pada Rabu. Karena, pada zaman dahulu kala, Rabu dijadikan hari pendalaman Islam.

Selain itu, warga juga dilarang memelihara ternak berkaki empat. Seperti kambing, sapi, kerbau, dan sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kebersihan kampung.

Di mana, mayoritas masyarakat Cangkuang bermatapencaharian dengan bercocok tanam. Ini juga karena warganya, sangat menjaga pola hidup bersih. (Arsip Tabloid ruber/2018)

BACA JUGA: Wisata Pas Buat Refreshing, Eksotisme Leuwi Jubleg Garut Layak Dinikmati