BERITA PANGANDARAN, ruber.id – Objek wisata Pantai Batu Hiu di Desa Ciliang, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat menjadi tujuan wisata yang banyak dikunjungi.
Berdasarkan kisah tutur, asal usul penamaan Pantai Batu Hiu sendiri dilatarbelakangi adanya satu batu karang di lokasi, yang menyerupai ikan hiu.
Budayawan Pangandaran Erik Krisna Yudha mengatakan, selain tempat rekreasi, Pantai Batu Hiu juga memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan tempat ritual.
“Di Pantai Batu Hiu terdapat petilasan yang saat ini menjadi tempat keramat,” kata Erik kepada ruber.id, belum lama ini.
Erik menjelaskan, berdasarkan kisah tutur, petilasan tersebut dahulu kala merupakan tempat peristirahatan seorang anglima bernama Seta, dan Senopati bernama Donggala dari daerah Utara.
“Bisa saja panglima dan senopati itu dari Kerajaan Mataram, bisa juga dari Kerajaan Galuh,” jelas Erik.
Erik mengatakan, ceritra rakyat yang beredar di masyarakat, Batu Hiu juga merupakan salah satu Keraton yang dipimpin oleh seorang putri bernama Dewi Ajeng.
Konon, Putri Dewi Ajeng ini menguasai salah satu daerah Pantai Selatan Jawa.
“Tapi untuk kajian ilmiah dari ceritra rakyat tersebut hingga saat ini belum bisa diakui secara rasional karena itu hanya warisan tutur yang disampaikan dari mulut ke mulut antargenerasi,” ucap Erik.
Bahkan, kata Erik, berdasarkan keterangan para sesepuh terdahulu, di Pantai Batu Hiu juga terdapat tempat di mana Presiden Republik Indonesia, Soekarno, pernah bertirakat dan sewaktu-waktu beristirahat.
“Salah satu bukti fisik yang bisa meyakinkan Batu Hiu tempat tirakat dan peristirahatan Presiden Soekarno di antaranya sumur Bandung,” ujar Erik.
Sumur Bandung tersebut, kata Erik, berada di daerah pantai barat Batu Hiu.
Persis keberadaannya di tebing batu karang yang menjulur ke arah laut lepas.
“Para ahli hikmah dan para ahli supranatural berkeyakinan, air sumur Bandung yang bersumber dari mata air asli ini bisa menjadikan awet muda jika digunakan untuk mandi,” jelas Erik.
Goa Seni di Pantai Batu Hiu
Selain keindahan alam dengan hamparan laut lepas yang diperindah dengan kondisi batu karang, di Pantai Batu Hiu juga terdapat goa yang keberadaanya jarang diketahui masyarakat sekitar.
Goa tersebut, kata Erik, oleh sebagian orang disebut Goa Seni.
Alasannya, sambung Erik, karena do Goa Seni banyak para seniman yang melakukan tirakat, dengan harapan penampilannya laris.
Lokasi Goa Seni ini, kata Erik, jarang yang mengetahuinya karena keberadaannya berlokasi di sebelah barat Pantai Batu Hiu.
“Goa Seni, berbentuk lengkeb atau batu karang yang mengarah ke hamparan lautan lepas.”
“Dengan kondisi keberadaan Goa Seni yang seperti itu, sangat jarang orang yang berhasil masuk ke dalamnya, karena harus menghindari deburan ombak,” ungkapnya.
Erik mengatakan, juru kunci pertama di Goa Seni adalah Almarhum Aki Ido.
Di mana, sekitar tahun 1950, Aki Ido banyak melahirkan para seniman tradisional yang kesohor.
“Para seniman yang ingin sukses dan tenar di dunia pertunjukkan seni tradisional, biasanya melakukan ritual tirakat di goa seni,” kata Erik.
Erik menyebutkan, salah satu seniman yang sukses dan tenar pada waktu itu di antaranya, Almarhum Kasid yang berprofesi sebagai juru kendang ronggeng.
“Awalnya, Kasid tidak memiliki keahlian apa pun, apalagi memainkan alat musik,” sebutnya.
Keseharian Kasid sendiri, kata Erik, awalnya tukang ojek dan kerja buruh serabutan.
Kasid, menikahi seorang penari ronggeng dan mengandalkan kebutuhan ekonomi dari hasil manggung istrinya sebagai penari ronggeng.
“Suatu hari, almarhum Kasid menemui almarhum Aki Ido, dan berkata ingin memiliki keahlian memainkan alat musik tradisional.”
“Dengan harapan, bisa seprofesi dengan sang istri,” jelas Erik.
Erik menuturkan, almarhum Aki Ido akhirnya meminta almarhum Kasid untuk melakukan ritual selama tiga hari tiga malam untuk berdoa di dalam Goa Seni di Pantai Batu Hiu tersebut.
Waktu itu, sambung Erik, almarhum Aki Ido berpesan jangan tertawa jika melihat hal yang aneh atau lucu.
“Berdasarkan pengakuan almarhum Kasid, pada malam pertama dan kedua, ia melihat hal aneh. Seperti ada cahaya pada batu stalaktith yang berbentuk kendang mengeluarkan cahaya,” sebutnya.
Kemudian, pada malam ketiga, secara tiba-tiba datang seekor kodok menghampiri batu stalaktith yang sebelumnya mengeluarkan cahaya.
“Kodok itu, kemudian memperagakan cara menepuk kendang di batu stalaktith, seketika Almarhum Kasih merasa lucu dan ingin tertawa melihat prilaku kodok itu.”
“Tapi, ia ingat pesan almarhum Aki Ido, kalau melihat sesuatu yang lucu jangan tertawa,” ucap Erik.
Singkat cerita, secara refleks, akhirnya almarhum Kasid menirukan gerakan cara menepuk kendang yang diperagakan oleh kodok hingga dia faham ketukan dan ritme.
Hingga akhirnya, paham apa yang telah dikeluarkan dari batu stalaktith tersebut.
“Aktivitas cara menepuk kendang itu dilakukan semalam penuh.”
“Hingga akhirnya, suatu pagi lmarhum Kasid keluar dari Goa Seni,” ucap Erik.
Setelah itu, lanjut Erik, Kasid mulai bergabung dengan grup rombongan seni ronggeng dan jadi juru kendang.
Jika memainkan kendang, almarhum Kasid sangat menyentuh perasaan dan orang yang mendengar suaranya terus teringat dengan permainan kendang yang dimainkan olehnya.
“Sejak saat itu pula, Kasid menjadi maestro kendang untuk wilayah Selatan Pangandaran dan tenar ke mana-mana,” ujar Erik. (CW-003/SMF/Arsip ruber.id)
BACA JUGA: Pantai Madasari, Destinasi Wisata Mirip Pulau Bali dan Tempat Bersejarah