Ahli Geologi Unpad: Letusan Gunung Semeru Dipicu Cuaca Ekstrem

Erupsi Gunung Semeru Jawa Timur
Peta kawasan rawan bencana di Gunung Semeru, Jawa Timur. ist/ruber.id

BERITA NASIONAL, ruber.id – Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Nana Sulaksana, Ir., M.SP., menyatakan cuaca ekstrem memicu terjadinya erupsi Gunung Semeru.

Sebelumnya, Gunung Semeru yang berlokasi di dua kabupaten, yakni Lumajang dan Malang, Jawa Timur ini erupsi pada Sabtu, 4 Desember 2021.

Nana menjelaskan, pemicu adanya banjir lahar yang terjadi akibat erupsi Gunung Semeru yaitu aktivitas vulkanik yang bersentuhan langsung dengan cuaca ekstrem di wilayah sekitar kawasan gunung berapi kerucut ini.

“Letusan yang terjadi tidak tiba-tiba. Tetapi memang, sudah terjadi letusan kegiatan magmatisme jauh sebelumnya.”

“Hanya saja kemarin, saat letusan besar, secara kebetulan bersamaan dengan tingginya curah hujan,” kata Nana melalui siaran pers yang ruber.id terima.

Nana mengatakan, dampak besar dari erupsi Gunung Semeru ini akibat adanya dua gaya yang bekerja. Yaitu, endogen dan eksogen.

Nana menjelaskan, gaya endogen terjadi dari aktivitas magma yang mendorong material vulkanik naik ke permukaan.

Sedangkan gaya eksogen akibat dari hujan ekstrem.

Baca juga:  Ledakan Keras di Area Nobar Debat Kedua Capres Bikin Pendukung Kaget

Material vulkanik yang tertumpuk di kubah, secara langsung bersentuhan dengan air.

Akumulasi material ini kemudian terbawa air dan hanyut ke bawah melalui lembah dan sungai-sungai.

Akibatnya, banjir lahar menyapu kawasan di lembah Gunung Semeru.

“Kalau tidak ada hujan, maka seluruh material yang keluar itu sifatnya belum langsung menjadi lahar.”

“Ini karena musim hujan. Kebetulan hujan besar, material yang teronggok di atas terkena air, dan hanyut ke sungai,” ucap Nana.

Karakter Letusan Gunung Semeru

Nana menuturkan, letusan Gunung Semeru ini memiliki karakter tersendiri.

Hal ini karena setiap kompleks gunung berapi di Indonesia memiliki dapur magmanya tersendiri.

“Antara satu gunung api dengan yang lainnya sebenarnya berbeda. Sebab itu, karakternya juga berbeda karena kandungannya berbeda pula,” tutur Nana.

Nana mengatakan, jika melihat dari tipe letusan, berdasarkan hasil penelitian dan historis. Gunung Semeru secara spesifik memiliki erupsi yang besar.

Setelah itu, gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut kemudian akan tertidur kembali.

Baca juga:  1.2 Juta Kendaraan Belum Kembali ke Jabotabek, Puncak Arus Balik Diprediksi Hari Ini

“Karakter ini berbeda dengan gunung-gunung lain. Misalnya, Merapi atau Sinabung.”

“Dinamika magma dari gunung ini simultan. Artinya, erupsi dengan intensitas kecil bisa terjadi dalam waktu yang sering.”

“Oleh karena itu, tiap gunung berapi di Indonesia memiliki stasiun pengamatannya sendiri.”

“Para pengamat gunung berapi, akan rutin melakukan pengamatan terhadap aktivitas gunung berdasarkan perubahan temperatur.”

“Kemudian catatan seismograf hingga penampakkan visual dari peningkatan gunung berapi,” kata Nana.

Nana menjelaskan, status gunung berapi akan berubah berdasarkan data yang teramati dan terekam, di stasiun pengamatan.

Pergerakan aktivitas gunung berapi ino juga berdasarkan historis erupsi sebelumnya.

“Jadi, karakter erupsi gunung berapi itu tidak bisa kita samakan dengan gunung berapi lainnya,” jelas Guru Besar bidang Ilmu Geomorfologi ini.

Mitigasi Bencana di Indonesia Sudah Baik

Nana menuturkan, saat ini, proses mitigasi kebencanaan gunung berapi di Indonesia sudah baik.

Indonesia, kata Nana, sudah memiliki peta kawasan rawan bencana yang telah ahli geologi dan vulkanologi susun.

Baca juga:  Jeruk Lemon Sumedang Bisa Dikembangkan Layaknya Agrowisata Malang

Peta ini, sambung Nana, menjadi pedoman lembaga terkait dalam melakukan mitigasi bencana. Khususnya, erupsi gunung berapi.

Peta yang ada ini, telah memetakan wilayah-wilayah rawan bencana.

Termasuk di dalamnya, permukiman yang rawan terdampak dan sungai yang akan menjadi aliran lahar.

Selain itu, lokasi pengamatan, jalur evakuasi hingga lokasi pengungsian sudah terpetakan dengan baik dalam peta tersebut.

“Dari kejadian erupsi Gunung Semeru ini, tampak bahwa peta lokasi yang terkena bencana adalah 90% tepat,” jelas Nana.

Nana menambahkan, erupsi gunung berapi ini sudah bisa terprediksi sebelumnya, berdasarkan pada tanda-tanda alam yang muncul.

Hal ini juga telah terdukung protokol mitigasi yang baik.

Informasi erupsi juga sudah dapat tersampaikan ke masyarakat 1 jam sebelum letusan Gunung Semeru.

“Dalam ukuran 1 hari atau 1 jam, sudah termasuk bagus berdasarkan kacamatan mitigasi bencana.”

Jadi, erupsi Gunung Semeru yang terjadi Sabtu kemarin, bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa pemberitahuan,” sebut Nana.

Penulis/Editor: Bam