BERITA INTERNASIONAL, ruber.id – Perang Rusia-Ukraina memang masih berlangsung. Meski demikian, kedua negara terus mengupayakan perundingan dan memperlihatkan hasil yang bikin dunia ‘agak’ lega.
Baik Rusia maupun Ukraina menuju ke arah gencatan senjata dan penarikan pasukan secara bertahap nantinya, setelah keduanya menyepakati 15 poin perdamaian.
Ukraina, diharapkan berada dalam posisi netral dan membatasi kegiatan militernya demi menekan aksi serangan Rusia terhadap Ibu Kota Kyiv terutama untuk keselamatan warga sipil.
Salah satu poin menyebutkan agar Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menanggalkan ambisinya masuk menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Selain itu, tidak menjadikan Ukraina sebagai pangkalan militer Barat dengan iming-iming mendapat perlindungan.
Tiga Poin Jadi Sorotan
Namun, ada 3 poin penting yang menjadi sorotan dalam upaya perdamaian Rusia-Ukraina ini.
Poin tersebut yakni, Ukraina diminta mengakui bahwa mereka mencaplok Krimea dari Rusia (Aneksasi), lalu memberi kemerdekaan untuk Donetsk serta kemerdekaan untuk Luhansk.
Kremlin mendesak seluruh Donbass (wilayah historis, ekonomi dan budaya yang terletak di Ukraina) harus lepas.
Poin-poin perdamaian itu, telah dibahas di awal pekan ini dan dikatakan mengalami kemajuan.
Meski demikian, Kyiv menolak untuk netral sebab kesepakatan ini memerlukan pihak ketiga yang bisa menjamin keamanan Ukraina dari serangan Rusia.
“Dunia tidak bisa mengesampingkan serangan apa pun pada Ukraina. Kami memerlukan jaminan keamanan yang ditanggung oleh mitra Internasional,” ujar Mykhailo Podolyak, penasihat Zelensky, dilansir dari The Daily Mail, kamis (17/3/2022).
Negosiator Rusia Medinsky menyebutkan, perjanjian ini memiliki ‘harapan’ kesepakatan.
Di sisi lain, ia juga mengatakan negosiasi berjalan lambat, dingin, serta sulit.
Tetapi, Kremlin sudah menginginkan perdamaian dilaksanakan sesegera mungkin.
Lebih lanjut, pihak Rusia mengatakan kesepakatan akan segera terlaksana seandainya Ukraina tetap netral seperti Swiss dan Austria.
Kedua negara ini, dijadikan contoh oleh Kremlin.
Mereka, bukan anggota NATO dan tak berambisi ikut di dalamnya.
Tetapi bertahan menjadi rekan aliansi NATO selama dua dekade lebih, dan menurut Rusia ini lebih masuk akal.
Sementara itu, banyak pejabat Ukraina ragu jika Presiden Rusia Vladimir Putin akan patuh pada perjanjian tersebut.
Mereka menduga, bisa jadi ini hanya akal-akalan Kremlin mengulur waktu untuk menambah persenjataan dan pasukan di perbatasan.
Menurut seorang sumber dari kalangan elit Kyiv, pemerintah Ukraina perlu mendesak Rusia hingga akhirnya Putin tak punya pilihan lain.
Penulis: Ardini Maharani DS/Editor: R003