Cerita Tiga Nelayan Pangandaran Lolos dari Maut Setelah 3 Hari Terombang Ambing di Laut Lepas

PANGANDARAN, ruber.id – Peristiwa tiga nelayan Pangandaran lolos dari maut setelah lebih dari 48 jam terombang-ambing di tengah lautan, menyisakan cerita menarik. Mereka berhasil melawan ganasnya laut.

Tersimpan cerita survival atau bertahan hidup mencengangkan dari ketiga nelayan tersebut.

Diketahui, ketiga nelayan ini adalah Yasim, 45; dan Dede Hadna, 37, warga Dusun Bojongkarekes RT/RW 02/13 Desa Babakan Kecamatan Pangandaran.

Dan seorang nelayan lainnya Yaya, 37, warga Desa Emplak, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran.

Ditemui sambil menjalani perawatan di RSU Pandega Pangandaran Sabtu (21/6/2020), kepada ruber.id, Yasim mengatakan, mereka pergi melaut sejak Kamis (18/6/2020) sekitar jam 14.00 WIB.

Ketiganya tiba di spot pencarian ikan lepas pantai, tak jauh dari jalur kapal tanker. Mereka langsung menebar jaring, saat malam menjelang.

“Saat itu, cuaca buruk dan gelap, jadi saya memutuskan untuk menarik jaring besok pagi, ketika hari terang,” kata Yasim.

Ketiganya kemudian duduk santai di atas perahu sembari menunggu pagi.

“Waktu itu kami melihat jam, sekitar jam dua pagian. Itu artinya hari sudah Jumat,” kata Dede Hadna.

Baca juga:  HMI Kritisi Penggunaan Kendaraan Eselon II oleh Eselon III di Pangandaran

Berselang beberapa saat kemudian, angin menyapu perahu hingga terbang hingga mendarat dalam posisi telungkup.

“Sepertinya angin puting beliung, karena jika ombak, biasanya tak sampai seperti itu,” jelasnya.

Hal pertama yang dilakukan mereka adalah mencari life jaket.

Meski sempat kesulitan karena gelap dan hujan, ketiganya bisa meraih dan memakai rompi pelampung itu.

Setelah itu, mereka mengikatkan diri satu sama lain, sebab arus besar dan agar mereka tetap bersama. Mereka hanya bisa terdiam hingga hari terang.

Ketiganya kemudian tengkurap, memegangi perahu untuk melawan dinginnya cuaca yang cukup ekstrem.

Lalu siang menjelang dan mereka mendapati lantai perahu sudah jebol dan sudah tak lagi bisa digunakan.

Ketiganya kemhdian berpikir. Memikirkan cara untuk memberi kabar kepada seseorang.

Akhirnya ketiganya membuang tangki bensin dan tas milik mereka. Dengan harapan benda-benda tersebut bisa sampai ke tepian dan memberi pesan adanya kecelakaan kapal.

Kemudian sepanjang Jumat (19/6/2020) itu, cuaca di tengah lautan sama dengan cuaca di daratan Pangandaran. Hujan dan angin kencang yang cukup ekstrem terjadi sepanjang hari.

Baca juga:  Gunung Parang di Langkaplancar, Ada Makam 2 Kesatria Pengawal Raja Galuh

Ketiga nelayan ini mulai mengalami kelaparan di tengah lautan lepas. Ketiganya hanya bisa tengadah ke langit, minum air hujan, untuk bertahan hidup.

Di tengah tubuh melemah, datang lagi serangan ubur-ubur.

“Saat tentakelnya hinggap, itu sakit sekali. Ketika dicabut daging ikut tercabut. Perih sekali,” kata Dede.

Untuk menyiasatinya, mereka menaiki perahu secara bergantian.

Dua orang naik, seorang tetap di air. Karena jika ketiganya naik, perahu telungkup itu tenggelam.

“Siang itu sempat ada kapal tangker lewat, lalu ada pula perahu lewat. Kami sempat berusaha mencuri perhatian, tapi mereka seperti tak melihat,” kata Yasim.

Memasuki Jumat malam, mereka semakin lemas. Rasa putus asa mulai menghinggapi.

Air mata ketiganya larut bersama air laut. Doa-doa terus dipanjatkan.

Dede Hadna dan Yaya mulai nyaris pingsan akibat rasa lelah tak tertahankan.

Terang saja, mereka tak makan minum dan tak tidur. Tubuh mereka pun terus berada di air.

“Saya terus menyemangati mereka. Pokoknya jangan sampai berpikir akan mati, yakin kita masih diberi umur,” kata Yasim.

Baca juga:  Goa Lanang & Sinjanglawang Pangandaran: Terbentuk Jutaan Tahun Lalu, Simpan Keindahan Alam Memikat

Untuk mengusir rasa dingin di malam hari, mereka bertiga lebih memilih merendam diri di air.

“Justru kalau di permukaan lebih dingin. Kalau malam itu, lebih hangat di dalam air,” kata Yasim.

Sabtu pagi, Yasim punya ide. Dia berniat menjadikan katir atau batang penyeimbang perahu menjadi sampan.

Dengan sisa-sisa tenaga, ketiganya merangkai katir.

“Tak pakai alat. Cukup membuka tali saja. Lalu diikatkan menjadi seperti sampan. Saat dicoba dinaiki, ternyata cukup untuk duduk bertiga walaupun sedikit tenggelam,” kata Yasim.

Masalah belum selesai, setelah meninggalkan perahu dan menaiki sampan, rupanya posisi mereka malah terseret arus ke tengah laut. Rasa putus asa kembali datang.

“Saat itu saya merasakan angin bertiup ke barat. Alhamdulillah muncul ide lagi. Kami semuanya buka rompi, lalu membentangkan dengan tangan. Sampan akhirnya bisa bergerak melawan arus,” katanya. (R002/dede ihsan)

BACA JUGA: Tim SAR Baracuda Cikidang: Tiga Nelayan Pangandaran Menyelamatkan Diri Gunakan Katir