JAKARTA, ruber.id – Ketahanan pangan di tengah pandemi corona menjadi isu yang selalu dibahas, terutama di Indonesia.
Permasalahan utamanya yakni apakah pemerintah mampu menangani masalah pangan.
Sementara belum diketahui pasti kapan wabah COVID-19 ini akan berakhir.
Pakar Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Firmanzah mengatakan, daya beli warga makin mengalami penurunan, melihat gelombang PHK.
Karena banyaknya perusahaan yang gulung tikar akibat tidak adanya pemasukan saat dilanda corona.
Tentunya, kata dia, kondisi ini sangat mempengaruhi ketahanan pangan.
“Saya setuju, COVID-19 ini berdampak pada ketahanan pangan dan harus segera diatasi.”
“Perkembangan perekonomian Asia makin drop, disusul pendapatan bersumber dari sektor migas kian menurun. Seluruh negara mengalami krisis,” katanya.
Sehingga, kata dia, perlu adanya pendekatan holistik antarinstansi untuk menangani permasalahan ini.
Seperti Kementerian, Bappenas, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Pertanian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota.
“Perlu ada transformasi struktural, terlebih setelah COVID-19 ini berlalu,” ungkapnya.
Sementara itu, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Arief Satria menyatakan, meski dipastikan stok pangan aman hingga Agustus 2020 mendatang, bukan berarti penanganan pangan berhenti begitu saja.
Masalah utama saat ini, kata dia, pendistribusian logistik yang terhambat.
Karena kebijakan COVID-19 terkait sosial distancing, diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pembatasan gerak rantai pasok pertanian.
Arief menjelaskan, kendala ini menyebabkan ketidakpastian distribusi, yang mempengaruhi musim tanam petani setelah Agustus.
Hematnya, kata dia, kondisi saat ini diperlukan kebijakan logistik untuk memasok pangan kepada warga.
“Kita tidak bisa lagi menggunakan desain (pasok) logistik lama. Salah satunya, dengan sistem blok chance, melalui pengembangan teknologi 4.0.”
“Yang menjamin akurasi data, sehingga koneksi hulu dan hilir menjadi lebih efisien,” jelasnya.
Selain itu, kata Arief, kondisi petani juga harus diperhatikan, jika melihat kenyataan di tengah pandemi corona ini, harga jual panen, jatuh di pasaran.
Over supplay hasil pertanian juga menyebabkan penghasilan petani menurun.
Berdasarkan data dari BPS, kata dia, nilai tukar petani turun dari 104 pada Januari 2020. Sementara pada Maret menjadi 102.
Hal ini, lanjut Arief, akan berdampak pada terbatasnya modal usaha berproduksi.
“Di sini peran pemerintah, mengeluarkan program stimulan dan relaksasi bagi petani,” ucapnya.
Program stimulan ini, kata Arief, penting diberikan kepada petani agar sektor pertanian tetap tumbuh dan menyejahterakan warga pedesaan.
Karena, kata dia, hingga saat ini pertanian masih menjadi basis perekonomian pedesaan atau sekitar 73.14%.
“Stimulan ini diberikan berupa benih, pupuk harus tepat sasaran.”
“Kemudian relaksasi kebijakan terukur secara holistik, agar petani tenang dalam mengahadapi oversuplay dan masalah distribusi ini.”
“Lalu, petani juga akan tenang, ketika menghadapi musim tanam mendatang.”
“Saya berharap, alokasi dana sebesar Rp70 triliun untuk insentif perpajakan dan KUR terwujud.”
“Sehingga ada kepastian petani dan unsur-unsur pertanian lainnya tetap aman,” sebutnya. (R007/Moris)
BACA JUGA: Kabar Baik, Peneliti UI dan IPB Temukan Kandidat Antivirus Corona