Tetap Lestari di Tengah Hingar Bingar dan Gempuran Budaya Luar
KOPI PAGI, ruber.id – Seakan ditelan zaman, pagelaran-pagelaran seni Sunda. Khususnya kesenian Sunda buhun mulai ditinggalkan dan jarang diminati.
Generasi muda masa kini, lebih mengenal piano ketimbang gamelan. Lebih mengenal biola ketimbang kacapi.
Namun, hal ini tidak berlaku bagi pagelaran kesenian Goong Renteng.
Pagelaran seni pusaka langgeng khas Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang merupakan peninggalan Prabu Geusan Ulun ini, telah ada sejak tahun 1578 dan tetap eksis.
“Pagelaran Goong Renteng ini merupakan cikal bakal peninggalan Prabu Geusan Ulun, pada tahun 1578 sampai akhir 1601.”
“Kemudian, tetap dilestarikan oleh Pangeran Kornel sebagai generasi ke 2, dan hingga saat ini secara turun temurun tetap dijaga kelestariannya,” ujar pimpinan seni pusaka langgeung Goong Renteng, Soma, 60, tahun 2012 lalu.
Hingga saat ini, kata dia, bersama ketujuh belas orang anggota paguyuban, seni Goong Renteng asuhan Aki Oom yang dipimpinnya, tiap minggunya rutin dan selalu ada yang menanggap pagelaran seni ini.
Seni Goong Renteng asuhan Aki Oom ini berlokasi di Dusun Ciwaru RT 05/04, Desa Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Sumedang.
“Hampir tiap minggu, selalu ada yang nanggap. Entah itu untuk ritualan, hajatan, ruat lokat maupun ruat pengantin.”
“Tidak hanya di Sumedang saja, hampir ke semua wilayah yang ada di Jawa Barat juga pernah.”
“Seperti ke Jonggol, Bogor hingga di Jakarta juga pernah mentas,” tuturnya.
Uniknya, kata dia, tiap kali kesenian Goong Renteng ini dipentaskan, selalu saja ada yang kesurupan.
Hal ini, lanjut dia, dikarenakan pada saat gamelan ditabuh, seakan, alat musik gamelan yang merupakan sumber suara yang paling tua yang ada di tatar Sunda ini, mengudang mereka yang punya paham maupun keilmuan masing-masing untuk ngibing.
Hingga mereka terbawa larut dalam irama gamelan.
Sehingga seolah-olah mendatangkan sesuatu yang mereka pahami dan mereka yakini keilmuannya.
“Irama gamelan yang ditabuh seakan membawa mereka (Yang ngibing) itu, larut dalam ritme gamelan.”
“Sehingga, seakan mendatangkan apa yang mereka pahami maupun apa yang mereka yakini berdasarkan keilmuan mereka masing-masing.”
“Dan setiap kali mentas, di manapun itu tempatnya, pasti ada kejadian mereka yang kesurupan.”
“Tapi itu sesaat saja, pada saat gamelan dihentikan, mereka akan kembali dalam kesadarannya masing-masing,” tuturnya. (Arsip ruber.id)
Baca Berita Feature lainnya: Sejarah Panjang Perjalanan Bus Medal Sekarwangi, Eksis Berkat Fanatisme Penumpang Sumedang