SEJUMLAH persoalan menyertai penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019. Satu hal yang menyita perhatian adalah meninggalnya ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) seusai bertugas pada 17 April lalu. Diduga, pemicu kematian terbanyak adalah kelelahan.
Berdasarkan catatan KPU, hingga Jumat (3/5/2019) kemarin, jumlah penyelenggara pemilu adhoc yang meninggal dunia adalah 412 orang. Sedangkan 3.658 lainnya dilaporkan sakit.
Musibah yang menimpa 4.070 orang tersebut tidak terlepas dari sistem pemilu serentak yang baru digelar tahun ini.
Konsekuensi pemilu serentak adalah bertambahnya durasi jam kerja penyelenggara pemilu.
Para petugas mesti menghitung ratusan, bahkan ribuan surat suara presiden-wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten, dan DPD RI.
Jumlah ini, tentu saja, lebih banyak dibanding pada penyelenggaraan Pemilu tahun 2014.
Uji Materi
Gagasan pemilu serentak diawali pengajuan uji materi oleh Effendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak pada tahun 2013.
Ketika itu, mereka mengajukan uji materi terhadap UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan dikabulkan.
Keputusan MK ini membawa dampak negatif pada penyelenggaraan Pemilu 2019.
Ratusan orang meninggal dunia lantaran kelelahan, dan tak pernah terjadi sebelumnya.
Secara faktual, konsep pemilu serentak sebenarnya sudah tepat. Namun, akan lebih ideal jika pemilihan serentak terbagi menjadi dua fase, yakni pemilihan nasional dan lokal, dengan jeda waktu yang memadai.
KPU sendiri telah melakukan kajian dan mewacanakan dua pelaksanaan yakni Pilpres dengan Pileg dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Pertama, yakni pemilu serentak nasional yang mencakup pilpres, pemilihan anggota DPR dan pemilihan anggota DPD.
Sedangkan fase kedua adalah pemilihan serentak daerah, yakni yang meliputi pemilihan gubernur, bupati/walikota, pemilihan legislatif untuk DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Skema Pilkada
Jika mencermati skema sesuai UU 10/2016 Pasal 201, jadwal pilkada serentak nasional adalah November 2024.
Artinya, setelah April 2024, akan diselenggarakan pileg dan pilpres berbarengan, serta berlanjut pada pilkada serentak nasional di bulan November 2024.
Hal ini sangat irasional dari sisi beban perkerjaan, kompleksitas maupun kompetisi politiknya.
Konsep penyelenggaraan seperti ini hanya membuat pelaksanaan pemilu kian kacau, lantaran jeda pemilu yang terlalu pendek.
Bahkan, waktu untuk pelaksanaan sosialisasi peraturan-peraturan KPU baru nyaris tak ada.
Kaji Ulang
Akhir kata, mekanisme maupun skema yang terdapat dalam pemilu maupun pilkada serentak perlu dikaji ulang secara cermat.
Jika dibutuhkan, demi perbaikan pelaksanaan di masa mendatang, aturan tersebut diubah sesuai kebutuhan dan kesepakatan bersama.
Lex semper dabit remedium. Dengan caranya, hukum selalu memberi obat, sehingga duka yang menimpa para penyelenggaran sebagaimana terjadi tahun ini, dapat diminimalkan. (*)
OLEH: Elsya Tri Ahaddini
*) Elsya Tri Ahaddini, Pemimpin Redaksi ruber.id