GAYAIN  

Ulasan Film: Man in Love

Man In Love
Man In Love.

BERITA HIBURAN, ruber.id – Resmi dirilis di layanan streaming Netflix pada 20 Agustus 2021, Man in Love adalah film percintaan Taiwan yang disutradarai oleh Yin Chen-hao.

Film ini, merupakan remake dari film Korea Selatan tahun 2014 dengan judul yang sama karya sutradara Han Dong Wook.

Secara garis besar, ia bergerak pada alur cerita yang hampir sama. Namun, membedakan dirinya dengan menghadirkan konflik yang lebih detail, plot yang berkembang secara teratur, dan nama-nama karakter.

Man in Love: Cinta pada Pandangan Pertama

Film Man in Love versi Taiwan, menceritakan tentang seorang pemimpin geng rentenir bernama A Cheng (Roy Chiu).

Ia, jatuh cinta saat pertama bertemu dengan salah satu putri seorang pria paruh baya yang tidak sadarkan diri di rumah sakit. Tetapi, harus melunasi hutangnya.

Selanjutnya, ia sebenarnya melakukan berbagai hal untuk membantu gadis bernama Hao Ting (Ann Hsu).

Meski sudah beberapa kali ditolak publik, Hao Ting luluh melihat ketulusan A Cheng. Bahkan, pria itu merawat ayahnya di rumah sakit.

Namun, latar belakang A Cheng sebagai rentenir meragukan hati Hao Ting hingga suatu saat, terjadi kesalahpahaman. Hao Ting mulai menjauh dari A Cheng.

Kesalahpahaman belum terselesaikan, tetapi berita sedih datang dari kematian ayah Hao Ting. Perlu anda ketahui website lk21 menyediakan berbagai film menarik yang bisa anda tonton.

Baca juga:  Drama Korea Moonshine, Kisah Cinta Berbalut Komedi di Era Joseon

Dari sana, Hao Ting memahami sifat asli A Cheng, yang ternyata tidak seperti rentenir biasa.

Meskipun ia memulai dengan berteriak, pria itu tidak pernah melukai targetnya dan sebaliknya, dia dengan tulus membantu mereka.

Kedekatan di antara mereka berdua menjadi lebih intens. Hao Ting berbagi mimpinya memiliki toko bubble tea.

Mengetahui cita-cita tersebut, A Cheng melakukan berbagai cara untuk bisa mewujudkan impian gadis yang sangat ia cintai. Meski, harus mendekam di penjara, kembali salah paham, dan melukai hati Hao Ting.

Konflik yang mewarnai kisah cinta A Cheng dan Hao Ting menjadi kekuatan film Man in Love dalam mempengaruhi emosi penonton. Untuk masuk ke dalam hubungan rumit antara keduanya.

Remake ini bahkan lebih memberikan “warna dan nuansa” dari aslinya karena berani terlihat lebih kejam, menyakitkan, dan sedih di saat bersamaan.

Ia tak segan-segan menghadirkan adegan dewasa dan adegan perkelahian yang penuh darah. Untuk menggambarkan betapa menyedihkannya sudut-sudut kehidupan di dunia ini.

Kerasnya kehidupan atau citra masyarakat ekonomi kelas bawah tampak utuh, dalam sinematografi yang cenderung suram dari awal hingga akhir durasi.

Elemen Sinematografi Film Man in Love

Fokus kamera pada rumah sempit ditekankan oleh aspek visual yang satu ini. Menunjukkan bahwa, elemen sinematografi film Man in Love benar mendukung visi skenario. Yang menunjukkan bagaimana Hao Ting tidak memiliki hak atas dirinya sendiri karena belenggu kemiskinan.

Baca juga:  Apakah Luffy itu Joy Boy? Simak Faktanya

Ia harus menerima kenyataan, bahwa berkencan dengan A Cheng adalah satu-satunya sumber untuk melunasi hutang ayahnya.

Puncaknya, bagian akhir dari durasi film ini mampu menggetarkan sekaligus tontonan yang sangat miris.

Air mata akan mudah jatuh karena role play dan peristiwa yang dihadirkan terasa sangat nyata dalam konsep visual yang serba suram.

Selain itu juga, didukung dengan elemen scoring yang tepat sehingga menyempurnakan emosi film hingga menembus hati penonton.

Hal itu juga tak lepas dari kualitas akting sang tokoh utama, yakni Roy Chiu.

Jika dibandingkan dengan Hwang Jung Min yang mengambil peran utama pria dalam Man in Love versi Korea Selatan, yang mana menceritakan tentang roy chiu yang sedang di mabuk asmara.

Apalagi, chemistry antara dirinya dan Ann Hsu juga terasa lebih nyata.

Meski dari segi emosi, Ann Hsu masih berada di belakang pemeran utama wanita di film aslinya, yaitu Han Hye Jin. Namun, ia berhasil meyakinkan penonton bahwa ia kekasih sejati dari A Cheng.

Tokoh

Dari segi penokohan, baik Roy Chiu maupun Ann Hsu, berhasil menghadirkan role play dengan sangat baik atas nama kedua karakter utama tersebut.

Baca juga:  Pusing dan Mual Saat Puasa? Cegah dengan Cara Ini

Roy Chiu sangat mengerti kapan tepatnya dia harus mengeluarkan emosi kemarahan dari mulutnya dengan kekerasan terhadap bawahannya.

Ia juga tahu kapan sentimentalitas, kasih sayang, dan momen patah hati harus dijiwai agar penonton semakin mengenal siapa dirinya sebenarnya.

Sementara itu, Ann Hsu berhasil tampil dengan gerak dan ekspresi misterius dan canggung karena Hao Ting memang wanita yang tertutup, mandiri, dan tidak suka terlihat lemah.

Menariknya, ia juga mampu menghadirkan sisi lain dari karakter Hao Ting yang sebenarnya penyayang kepada orang-orang yang ia kenal baik dan cintai.

Tanpa celah terkait kepiawaian membawa emosi penonton ke dalam cerita dengan dukungan teknis dan akting berkualitas dari para aktor.

Mengangkat Citra Patriarki dalam Belenggu Kapitalisme

Film ini, justru beranjak dari premis yang cukup bermasalah karena mengangkat citra patriarki dalam belenggu kapitalisme.

Lain halnya dengan novel Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli yang diterjemahkan ke dalam film layar lebar.

Seperti ‘Sitti Noerbaja’ (1942), kisah ini didasarkan pada gambaran seorang ayah yang terlilit hutang. Tetapi, putrinya yang melahirkan. Konsekuensinya.

Kisah khas patriarki Timur di masa lalu, masih menjadi persoalan yang berlarut-larut.