twads.gg

Suara dari Perut Bumi Sumedang

Suara dari Perut Bumi Sumedang
Ummu Fahhala, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi). Dok. Pribadi/ruber.id

OPINION, ruber.id – Hari itu, Rabu pagi, udara Sumedang terasa lebih hangat dari biasanya. Seorang pemuda bernama Damar berdiri di pinggir jalan dekat Kantor Cabang Dinas ESDM Wilayah V.

Ia bukan pegawai negeri, bukan pula aktivis. Ia hanya seorang warga biasa yang tumbuh besar di kaki perbukitan Sumedang, daerah yang dikenal kaya akan potensi tambang.

OLEH: Ummu Fahhala, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Damar mendengar kabar bahwa, para anggota DPRD Jawa Barat dan perwakilan Pemerintah Provinsi sedang duduk bersama membahas Ranperda pertambangan.

Ia tidak tahu detail isi rancangan itu, tetapi hatinya penuh harap. Ia ingin tambang di tanah kelahirannya dikelola dengan lebih baik, lebih adil, dan lebih bijak.

Warisan Tanah dan Harapan Generasi

Sejak kecil, Damar melihat banyak perubahan di kampungnya. Bukit-bukit yang dulu hijau, kini tinggal batu-batu besar.

Sungai yang dulu jernih, kini kadang mengalirkan lumpur. Ia mengerti bahwa tambang bisa membawa pemasukan.

Tapi ia juga tahu bahwa jika tak diatur dengan benar, tambang bisa merenggut lebih banyak dari yang diberikannya.

Baca juga:  Susuri Pusat Kota Sumedang, Polisi Ingatkan Warga Disiplin Protokol Kesehatan

“Kalau bisa diatur baik, tambang itu berkah. Tapi kalau semrawut, bisa jadi musibah,” kata Kakeknya suatu waktu.

Pagi itu, Damar berdiri tak jauh dari pintu kantor ESDM. Ia tidak punya suara dalam ruang sidang.

Namun, pikirannya melayang pada satu pertanyaan: apakah tambang ini milik segelintir orang, atau milik semua?

Legal, Tapi Apakah Adil?

Di desa, Damar mendengar banyak cerita tentang tambang yang legal dan tambang yang ilegal. Tapi baginya, garis itu tak selalu jelas.

Kadang, tambang legal pun merusak sawah warga. Kadang pula, tambang rakyat yang kecil justru lebih hati-hati.

Damar pernah membaca kutipan seorang peneliti lingkungan. Katanya, “Masalah utama dalam pertambangan adalah lemahnya pengawasan dan kepentingan ekonomi yang terlalu dominan.”

Ia tidak terlalu paham teori, tapi ia tahu apa yang ia lihat, lubang-lubang menganga, tanah longsor, dan suara mesin yang tak pernah tidur.

Baca juga:  Alhamdulillah, Pasien Pertama Positif Corona di Sumedang Sembuh

Ia bertanya dalam hati, “Apakah cukup hanya membuat peraturan baru? Atau kita juga harus mengubah cara pandang kita tentang tambang?”

Sebuah Kisah Lama yang Terlupa

Suatu sore, saat berbincang dengan gurunya di masjid, Damar diajak membaca sebuah hadis Rasulullah SAW.

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api.”

Gurunya menjelaskan bahwa, api yang dimaksud juga mencakup tambang dan energi. Tambang bukan milik siapa pun. Ia milik semua.

Guru itu juga menceritakan bagaimana Umar bin Khattab, seorang pemimpin Islam, pernah menyita tambang dari tangan pribadi dan menjadikannya milik negara agar manfaatnya bisa dirasakan oleh rakyat luas.

Bagi Damar, itu bukan sekadar cerita masa lalu. Itu semacam petunjuk, arah baru dalam cara berpikir tentang tambang. Bahwa tambang bukan sekadar sumber uang, tetapi juga amanah.

Menata Ulang dari Hati

Hari itu, Damar tidak bertemu siapa pun dari DPRD. Ia pulang membawa harapan dan niat untuk belajar lebih banyak.

Baca juga:  Longsor Batu Timbun Jalan Cadas Pangeran Sumedang

Ia percaya pemerintah berusaha menyusun aturan terbaik, juga percaya masyarakat harus punya kesadaran dan kepedulian.

Damar membayangkan sistem tambang yang tidak hanya menguntungkan negara, tapi juga menjaga lingkungan.

Ia bermimpi tambang dikelola seperti di masa para sahabat, dieksplorasi dengan penuh tanggung jawab dan keberkahan.

“Kalau kita kembali pada nilai-nilai Islam,” katanya dalam hati, “kita bisa membangun tata kelola tambang yang adil, berkelanjutan, dan berkah.”

Akhir yang Baru

Langit Sumedang sore itu memerah keemasan. Damar menatap perbukitan yang jauh di sana.

Ia tidak tahu apakah Ranperda yang dibahas hari ini akan membawa perubahan besar.

Tapi ia percaya, perubahan selalu dimulai dari cara kita memandang sesuatu.

Dan jika hari ini, kita semua (Pemerintah, masyarakat, dan generasi muda seperti Damar) mau menata ulang niat dan arah kita. Maka, suara dari perut bumi Sumedang takkan sia-sia. Ia, akan menjelma menjadi hikmah, bukan hanya lubang dan debu. ***