Larangan mudik oleh pemerintah ini mendapat protes maupun dukungan dari warganet, atau netizen di Indonesia.
Postingan-postingan pro-kontra warga pada larangan mudik tersebut banyak tersebar di akun media sosial sepanjang tahun 2021, lalu.
Merujuk pada postingan-postingan tersebut, membuktikan bahwa banyaknya kontra dari masyarakat terhadap keputusan pemerintah. Yang seolah, menganggap mudik Lebaran adalah satu-satunya penyebab meningkatnya potensi penyebaran virus corona.
Sedangkan, tempat wisata dan penerbangan ke luar domestik yang memiliki potensi sama besarnya tetap dibuka.
Dalam kaitannya dengan konteks komunikasi pembangunan, hal ini berkaitan dengan teori pendekatan humanistik. Di mana, manusia memiliki pandangannya sendiri berdasarkan penalaran dan pengalaman hidupnya.
Pada kasus ini, pemerintah memberikan informasi berupa larangan kepada warganya agar tidak melakukan mudik Lebaran.
Namun, orang-orang yang menentang mempunyai pendapatnya sendiri karena merasa hal tersebut belum tentu efektif untuk menekan tingkat penyebaran virus corona.
Aspirasi tersebut disampaikan melalui berbagai platform seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan media sosial lainnya. Tujuannya, supaya pendapat mereka sampai kepada pemerintah.
Setelah setahun melewati situasi tersebut, akhirnya masyarakat kini diperbolehkan untuk melakukan mudik pada Lebaran 2022, yang merupakan tradisi tahunan warga Indonesia pada saat Hari Raya Idul Fitri.
Tentu saja, tetap disertai dengan syarat vaksin lengkap serta penerapan protokol kesehatan yang baik dan benar.
Fenomena ini pula yang menarik perhatian penulis, karena suatu budaya/tradisi dapat sewaktu-waktu berubah. Karena faktor perkembangan zaman maupun faktor tertentu seperti kondisi pandemi saat ini yang sulit diprediksi kedatangnya.
Untuk itu, penting untuk membangun komunikasi yang baik antara masyarakat dengan pemerintah agar permasalahan yang timbul dapat mencapai resolusi yang sama. (*)
Penulis Opini: Salsabila Nur Izzah (Mahasiswa Digital PR FKB Telkom University)