Memahami Keberagaman dan Toleransi dalam Pandangan Islam

Memahami Keberagaman dan Toleransi dalam Pandangan Islam
Foto ilustrasi from Pexels

OPINION, ruber.id – Memahami keberagaman dan toleransi dalam pandangan Islam. Kabupaten Cirebon, Jawa Barat mengusung visi Berbudaya, Sejahtera, Agamais, Maju, dan Aman.

Visi tersebut, Bupati Cirebon H Imron sampaikan ketika mengukuhkan pengurus Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) di Pendopo Bupati Jalan Kartini Kota Cirebon, Senin, 17 Oktober 2022, lalu.

Bupati Imron menjelaskan, nantinya FPK akan lebih banyak berperan dalam meningkatkan harmonisasi seluruh kelompok warga di Kabupaten Cirebon.

Terutama, dalam keragaman bahasa, adat istiadat, seni budaya, pendidikan, dan ekonomi.

Selain itu, dapat menciptakan toleransi terhadap perbedaan yang ada pada masing-masing kelompok warga.

Fakta Keberagaman

Di dunia ini, terdapat banyak sekali suku, budaya, ras, dan warna kulit juga terdapat banyak sekali bahasa yang beranekaragam.

Hal ini, sebenarnya sudah Allah SWT sampaikan dalam surat Ar-Rum: 22. “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu.”

Ayat di atas menggambarkan bahwa umat manusia ini, sejatinya Allah SWT ciptakan dalam keberagaman.

Keberagaman atau Pluralitas ini, adalah fakta dalam kehidupan. Mulai dari jenis kelamin, suku, agama, jenis kulit, bahasa, dan lainnya.

Ini dapat kita lihat dari beragam bentuk budaya, di seluruh dunia. Bahkan, di Indonesia sendiri ada bermacam-macam budaya, suku, dan agama.

Sebut saja di Indonesia ada agama Islam, Kristen, Hindu, Budha.

Baca juga:  Kerja Keras

Juga terdapat banyak suku seperti suku Jawa, suku Bugis, suku Sunda dan masih banyak lagi.

Adanya perbedaan di tengah-tengah masyarakat, tidak lantas menjadikan perpecahan. Bahkan, hendaknya saling menghargai satu dengan yang lainnya.

Keberagaman dalam Islam

Dalam Islam, keberagaman adalah sesuatu yang sangat alamiah, bukan masalah.

Seperti halnya Rasulullah SAW contohkan, saat memimpin Kota Madinah.

Di mana, di Kota Madinah, terdapat beberapa agama dan suku-suku yang ada di Jazirah Arab yang juga memiliki perbedaan warna kulit.

Akan tetapi, mereka dapat hidup berdampingan dan taat pada peraturan yang didasarkan pada syariat Islam.

Dipersatukannya umat, karena akidahnya dengan ikatan ukhuwah Islamiyyah.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari pun, umat muslim memiliki seperangkat aturan yang diatur dalam syariat Islam.

Syariat Islam, didasarkan pada hukum syara. Di mana, hak pembuat hukum hanya ada pada Allah SWT. Bukan pada manusia dari aturan berpakaian, bertingkahlaku, berinteraksi antara laki-laki dan perempuan, jual beli.

Bahkan, sampai pada tataran bagaimana kewajiban seorang pemimpin wajib menjadikan hukum syara sebagai tolok ukur dalam mengambil kebijakan.

Itulah Islam, yang bukan sekadar agama ritual belaka. Tetapi juga, sebagai aturan yang mengatur seluruh kehidupan.

Disamping ada hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah dan syariat yang berkaitan dengan umat yang berbeda agama. Dan kaum muslim, wajib berpegang teguh pada agamanya.

Baca juga:  Kerusakan Generasi karena Persoalan Sistemik

Mengelola Keberagaman

Keberagaman di tengah masyarakat adalah niscaya, maka perlu dikelola.

Fakta moderasi beragama hari ini, dilakukan atas nama pluralisme (Paham yang menerima berbagai keberagaman, menganggap semua agama/pendapat/tingkahlaku semua benar tanpa peduli standar syariat Islam tentang halal haram).

Moderasi, diharuskan sebagai nilai universal seperti keadilan, kemaslahatan, persamaan, dan kerahmatan.

Pada kenyataannya, moderasi hari ini dijadikan sebagai jalan tengah dalam menjalankan syariat Islam.

Seperti dalam berpakaian, di mana menutup aurat menggunakan jilbab adalah suatu keharusan yang wajib bagi seorang muslimah.

Sedangkan dalam pandangan moderasi, mewajibkan menggunakan jilbab dianggap pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam memilih menentukan kehidupannya.

Hal ini, apabila terus dibiarkan akan mempengaruhi pola pikir kaum muslimin. Yang seharusnya, melakukan segala sesuatunya didasarkan pada syariat Islam. Dan wajib terikat kepada hukum syara, yang menjadikan halal dan haram sebagai tolok ukurnya.

Tetapi dengan adanya moderasi, menjadikan toleransi dengan dalih keberagaman sebagai tolok ukur perbuatan.

Mendudukkan Toleransi

Sejatinya, toleransi adalah menghormati perbedaan yang ada. Bukan menyeragamkan yang berbeda.

Seorang muslim misalnya, tidak diperkenankan memasuki tempat ibadah umat yang lain, begitu pula sebaliknya.

Ini semata, dalam rangka menghormati keyakinan pemeluk agama yang lain.

Hal ini, bukan berarti tidak rukun atau intoleran.

Justru sebenarnya, yang patut dipersoalkan bila atas nama toleransi dan keberagaman justru melanggar hukum syariat dan melanggar akidah Islam.

Baca juga:  Pentingnya Edukasi Masyarakat dalam Percepatan Penanganan Virus Berbahaya, Covid-19

Sejak Islam tumbuh dan berkembang, Rasulullah SAW pun, telah memberikan contoh tentang toleransi.

Dalam Watsiqah Madinah pada 622 Masehi, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar untuk keragaman hidup antarumat beragama. Mengakui eksistensi nonmuslim, sekaligus menghormati peribadatan mereka.

Piagam Madinah yang dirumuskan Rasulullah SAW itu, merupakan bukti otentik mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang dipraktikkan umat Islam.

Di antara butir-butir toleransi itu, adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada.

Tidak saling menyakiti, dan saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.

Melalui Piagam Madinah itu, Rasulullah SAW, sebagai Ra’is Ad-Dawlah (Kepala Negara) menunjukkan bukti, betapa beliau sangat menghormati agama lain.

Scontoh, saat Rasulullah SAW, melihat ada rombongan orang mengusung jenazah Yahudi melewati beliau, spontan berdiri (Sebagai penghormatan).

Sahabat protes: “Wahai Rasulullah SAW, bukankah dia seorang Yahudi?”

Rasulullah SAW, menjawab: “Bukankah dia manusia?”

Akan tetapi, toleransi Rasulullah SAW di atas, tidak lantas menjadikan Rasulullah SAW membenarkan apa yang menjadi keyakinan mereka.

Sikap toleransi, harmonis, tolong-menolong dan kerjasama umat Islam dengan nonmuslim, hanyalah dalam masalah muamalah keduniaan. Yang tidak berhubungan dengan permasalahan akidah dan ibadah. Wallahu a’lam bishshawab.

Penulis: Tawati, Muslimah Revowriter Majalengka.