Larungan Agung di Pantai Pangandaran yang Dibubarkan, Begini Penjelasan Panitia

Larungan Agung
PENASEHAT Yayasan Manunggal Rasa Kemurnian Edy Susanto (duduk kaos hitam) saat klarifikasi acara Larungan Agung di Pangandaran. dede/ruber.id

BERITA PANGANDARAN, ruber.id – Penasehat Yayasan Manunggal Rasa Kemurnian Edy Susanto menyampaikan klarifikasi soal kegiatan Larungan Agung.

Diketahui, acara yang digelar di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, itu dibubarkan petugas gabungan pada Minggu (5/9/2021) lalu.

Meski demikian, pihaknya akan kembali merencanakan kegiatan Larungan Agung di Pangandaran tahun depan.

“Semoga kita dipanjangkan umur untuk bertemu lagi tahun depan. Dengan mengikuti ketentuan,” kata Edy, Senin (6/9/2021) sore di Pangandaran.

Soal insiden pembubaran, pihaknya mengaku tak mempermasalahkan. Lantaran acara inti yakni pembacaan do’a sudah dibacakan.

“Kami menerima dengan lapang dada. Karena acara pokoknya sudah rampung. Tinggal pembagian sedekah berupa bahan pangan yang kami bawa itu,” ujarnya.

Baca juga:  Kemenkominfo Bangun Indonesia dari Pinggiran Pangandaran

Edy menuturkan, istilah sesaji atau sesajen yang dialamatkan kepada bahan pangan yang dibawanya, itu bukan sesaji atau sesajen, melainkan gunungan. Keduanya memiliki makna yang berbeda.

“Sesaji itu makanan dan minuman yang dihadirkan di rumah dan ditujukan kepada ghaib. Dan mengharapkan sesuatu yang bersifat duniawi,” tuturnya.

Kemudian, kata Edy, gunungan adalah wujud rasa syukur kita dari anugerah alam. Berupa nasi, buah-buahan dan sayuran, yang nantinya akan dinikmati oleh warga sekitar.

Sosok Perempuan Berkebaya Hijau

Sosok perempuan yang mengenakan kebaya hijau dan mahkota pada acara Larungan Agung itu bukan merepresentasikan Nyai Ratu Kidul. Melainkan representasi dari Bunda Ratu.

“Bagi kami kata Nyai Ratu dan Bunda Ratu itu sangat berbeda. Sesuatu yang berlainan. Jadi pada acara itu kami merepresentasikan Bunda Ratu,” ucapnya

Baca juga:  Akuarium Raksasa di Pangandaran Belum Ada Izin untuk Dibuka

Meski begitu, Edy mengakui bahwa itu asumsi masyarakat awam atau publik. Mereka selalu mengidentikkan sosok wanita berkebaya hijau, memakai mahkota dan berada di sekitar pantai sebagai Nyai Ratu Kidul.

“Asumsi masyarakat awam silakan saja. Tapi bagi kami maknanya sangat berbeda. Dan itu telah menimbulkan gejolak di kalangan anggota yayasan kami. Kami sangat keberatan akan hal tersebut,” tegas Edy.

Meski mengusung judul acara larungan, Edy membantah pihaknya akan melarung gunungan dan kambing hitam itu ke laut.

“Kita tidak akan melarung ke laut, tapi akan dibagikan ke warga di lokasi. Tapi karena kemarin dibubarkan, akhirnya kami bawa pulang dan dibagikan ke warga di kampung kami,” terangnya. (R002)