Kuda Lumping di Pangandaran Akulturasi Budaya Dua Suku

Kuda Lumping
KUDA Lumping sedang beraksi. ist/ruber.id

BERITA PANGANDARAN, ruber.id – Kesenian kuda lumping yang berkembang di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat merupakan akulturasi budaya suku Jawa dan Sunda.

Saat ini, kesenian dengan tarian tradisional Jawa yang menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda itu memiliki eksistensi kuat di daerah selatan Jawa Barat ini.

Bahkan kesenian kuda lumping tersebut jadi salah satu hiburan masyarakat yang biasa dipentaskan dalam acara hajatan.

Keakraban masyarakat di Panganaran dengan kesenian kuda lumping menandakan kehidupan sosial suku Jawa dan Sunda di Pangandaran terjalin baik.

Ketua Lembaga Adat Pangandaran Erik Krisnayudha mengatakan, kesenian kuda lumping yang saat ini berkembang di Pangandaran masuk melalui daerah Cirebon.

Baca juga:  Lomba Desa Wisata Nusantara, BUMDes Kertayasa Pangandaran Raup Keuntungan Rp300 Juta per Bulan

“Perkembangan kesenian ini khususnya di Pangandaran mayoritas dinikmati di daerah perbatasan suku Sunda dengan suku Jawa,” kata Erik, Jumat (15/10/2021).

Erik menuturkan, daerah perbatasan suku Jawa dengan suku Sunda itu di antaranya di Kecamatan Mangunjaya, Kecamatan Kalipucang dan Kecamatan Pangandaran.

“Kalau orang jawa menyebutnya kuda lumping. Tapi kalau orang sunda menyebutnya ebeg,” tuturnya.

Pagelaran kesenian ebeg sangat simpel dipentaskan dalam acara resepsi seperti pesta pernikahan dan khitanan.

“Pertunjukan ebeg lebih simpel arenanya dan banyak warga yang minat mementaskan kesenian ebeg dibandingkan dengan kesenian tradisional lain,” ujarnya.

Pementasan kesenian ebeg di antaranya adegan tarian orang yang menunggangi kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu. Dirias layaknya kuda beneran.

Baca juga:  DPRD Pangandaran: Maksimalkan 2 Aset BUMD dari Ciamis

“Ebeg itu mengkolaborasikan antara bunyi musik gambelan tradisional dengan gerakan drama yang mengandung unsur magis,” terangnya.

Suara gambelan bernuansa magis tersebut mempengaruhi para pemain hilang kesadaran seolah dikendalikan roh halus.

Erik menyebutkan, keunikan kesenian ebeg di antaranya saat para penari dalam kondisi (mendem), pemain melakukan adegan yang mengejutkan.

“Seperti memakan kaca, mengupas buah kelapa menggunakan gigi dan menirukan gaya gerakan binatang,” sebutnya. (R001/smf)