OLEH: Rianny Puspitasari, S. Pd., M. Pd.
HALTE Bus Rapid Transit (BRT) Cinunuk di Jalan Raya Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung sudah tidak dipakai untuk naik turun penumpang bus.
Kondisinya semakin memprihatinkan, bagian bangunan halte tampak mengalami kerusakan, mulai dari kaca jendela, rangka atap, rolling door, dan pecahan kaca berserakan di lantai.
Di dalam lokasi halte pun, ditemukan banyak kemasan obat batuk sachet dan botol minuman keras oplosan.
Menurut pantauan, halte BRT Cinunuk ini bukan satu-satunya halte yang tidak digunakan lagi. Masih ada halte lain yang hampir sama kondisinya.
Sangat disayangkan, seharusnya sebelum membangun, para pemilik wewenang memiliki rencana yang matang, karena tentu proyek membangun halte-halte ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Fakta lainnya, bangunan bekas halte ini pun kerap dijadikan tempat bernaung PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Sehingga wajar kondisi halte tersebut semakin buruk kondisinya.
Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap sehingga sering menjadikannya tempat berlindung dari panas matahari dan siraman air hujan. Perihal PMKS ini harus juga menjadi perhatian.
Berdasarkan data Dinsos 2017, jumlah PMKS di Kota Bandung sebanyak 80.338.
Kategori PMKS yang didata meliputi Anak Terlantar, Anak Jalanan, Penyandang Cacat, Pengemis, Gelandangan, Keluarga Fakir Miskin dan lainnya.
Ini yang tercatat, karena tidak menutup kemungkinan bisa jadi seperti fenomena gunung es.
Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, tentu menggelitik nalar kita, mengapa PMKS ini menjamur? Berarti, kesejahteraan rakyat belum terpenuhi dengan benar.
Sistem ekonomi neolib yang digadang-gadang menjadi sistem ekonomi terbaik yang harus diterapkan di Indonesia nyatanya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seluruh rakyatnya.
Bahkan, ironisnya malah membawa Indonesia pada galian utang yang semakin dalam.
Sistem ekonomi yang lahir dari pandangan hidup sekuler liberal semakin membuat jurang si kaya dan si miskin semakin lebar.
Bagaimana tidak? Modal dan keuntungan yang besar hanya berputar di sekeliling para pemilik modal yang dilindungi oleh para penguasa.
Sehingga tidak aneh, penguasa saat ini lebih memilih melindungi para pemilik modal dan abai pada rakyatnya.
Konsekuensi logis dari hal ini adalah semakin banyaknya orang yang berpredikat PMKS.
Dalam Islam, negara wajib memastikan bahwa kebutuhan primer rakyatnya terpenuhi.
Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan kebutuhan-kebutuhan dasar ini, Islam mempunyai mekanisme dan sistem.
Mekanisme dan sistem ini kemudian diimplementasikan dengan konsisten. Baik oleh individu, maksyarakat maupun negara.
Sehingga, kemakmuran yang dicita-citakan itu pun benar-benar terwujud.
Jaminan kebutuhan dasar ini ditetapkan oleh Islam sebagai kebijakan ekonomi (economy policy) negara Khilafah. Baik dalam bentuk mekanisme ekonomi maupun nonekonomi.
Kebijakan itu, antara lain: negara mewajibkan setiap laki-laki, balig, berakal dan mampu untuk bekerja.
Dengan bekerja, dia bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dan orang-orang yang menjadi tanggunngannya.
Berikutnya, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Bisa dengan memberikan sebidang tanah, memberikan modal, atau pelatihan dan pembinaan.
Bagi anak-anak terlantar, orang cacat, orang tua renta dan kaum perempuan yang tidak mempunyai keluarga.
Terhadap mereka negara akan mendorong orang-orang kaya yang berdekatan untuk membantu mereka, bisa melalui skema sedekah, zakat dan infak.
Kebijakan selanjutnya, yaitu bagi tiap laki-laki balig, berakal dan mampu bekerja, tetapi tidak bekerja, atau bekerja dengan bermalas-malasan, maka negara akan menjatuhkan sanksi.
Demikianlah yang akan diberlakukan oleh Khilafah, negara yang menerapkan seluruh
syariat Islam secara sempurna, dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya, baik
muslim maupun nonmuslim.
Tentu, kita merindukan adanya institusi yang akan melindungi rakyat dan menjadikan rakyat sebagai kepentingan utama, bukan yang lain.
Oleh karena itu, memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah menjadi PR besar semua umat Islam di dunia. Wallahu ‘alam bi ash showab. (*)
*) Rianny Puspitasari, S.Pd., M.Pd.
[email protected]