Ini 3 Pemicu Angin Puting Beliung di Rancaekek Bandung

BERITA BANDUNG, ruber.id Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Bandung menyebutkan ada tiga hal yang menjadi pemicu angin puting beliung yang terjadi di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung pada Jumat (11/1/2019), yakni, siklus lokal, regional dan global.

Kepala Stasiun BMKG Bandung Toni Sukma Wijaya pada siaran radio Sabtu (12/1/2019) mengatakan, pemicu faktor lokal tampak dari pantauan citra satelit. Yang memperlihatkan, pembentukan awan cumulonimbus di wilayah Rancaekek dan sekitarnya, pada Jam 15.10 WIB, Jumat kemarin.

“Pemicu faktor regional terlihat dari adanya pertemuan massa udara di wilayah Jabar dan lekukan angin atau shearline di Jawa Barat bagian tengah,” kata Toni.

Sedangkan, pemicu faktor global, terdapatnya anomali suhu permukaan laut di perairan Jawa Barat yang menghangat. Sehingga, mendorong pembentukan awan konvektif potensial hujan.

Baca juga:  Cycling De Jabar 2023, Dorong Potensi Perekonomian di Jabar Selatan melalui Dukungan bank bjb

Walaupun sama-sama merupakan fenomena alam, kata Toni, angin puting beliung memiliki karakteristik yang berbeda dengan siklon dan badai. Perbedaan ini, tampak dari durasi dan luas area yang terdampak.

“Angin puting beliung tidak sama dengan siklon atau badai yang terjadi di berbagai negara. Siklon berlangsung lama, bisa terjadi selama seminggu.”

“Area yang terdampak juga luas, bisa satu provinsi atau merebak hingga bahkan ke beberapa negara,” kata Toni.

Sedangkan durasi angin puting beliung terbilang singkat, sekitar lima menit, dan langsung lenyap ketika sudah terjadi.

Luas wilayah yang terdampak pun biasanya tak lebih dari 2 kilometer.

“Jika kecepatan anginnya di bawah 100 kilometer/jam, biasanya mampu menumbangkan pohon dan menerbangkan atap rumah,” ujarnya.

Baca juga:  Meriahkan Lebaran 2021, bank bjb Bagikan Berkah Ramadan untuk Nasabah

Lebih lanjut Toni menjelaskan, di Indonesia jarang terjadi siklon maupun badai.

Fenomena alam yang terjadi lebih sering dipicu awan cumulonimbus, tekanan udara rendah berskala besar, serta anomali suhu di permukaan laut.

“Karenanya, BMKG selalu memantau munculnya awan cumulonimbus melalui citra satelit dan radar. Tiap 60 menit menjelang pembentukan awan jenis ini, BMKG akan merilis peringatan dini cuaca ekstrem,” ungkapnya.***