Di Balik Papan Nama Pesantren, Ada Suara Hati yang Terlupa

Opini Pesantren Ilegal
Ummu Fahhala, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi asal Bandung). Dok. Pribadi/ruber.id

OPINIO, ruber.id – Pagi itu, langit Cianjur mendung. Embun masih menetes dari daun pisang yang berdiri kokoh di pinggir jalan tanah.

Di sebuah bangunan sederhana berdinding bambu dan beratap seng berkarat, suara lantunan ayat suci Alquran terdengar lirih dari balik bilik.

OLEH: Ummu Fahhala, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi asal Bandung)

“Alif laam miim… Dzalikal kitaabu laa raiba fiih…”

Suara itu berasal dari Husein, seorang santri kecil berusia 12 tahun, yang duduk bersila di atas tikar robek.

Tak jauh darinya, berdiri sosok kurus berkain sarung, dengan peci hitam lusuh dan sorot mata lembut: Kiai Mahfud.

Razia yang Mengusik Sunyi

Kabar itu, datang lewat radio usang di pojok musala.

“Menko PMK, Muhaimin Iskandar, telah membentuk tim khusus untuk merazia pesantren ilegal. Fokus utama razia berada di wilayah Jawa Barat,” kata suara penyiar dari balik siaran media pagi.

Baca juga:  Adakah Keterkaitan antara Usaha dan Rezeki?

Kiai Mahfud menoleh pada santri-santrinya. Mereka tetap khusyuk membaca.

Tak satu pun dari mereka tahu, suara di radio itu bisa mengubah nasib mereka esok hari.

“Kiai… kita termasuk pesantren ilegal, ya?” tanya Asep, santri tertua berusia 15 tahun, dengan wajah cemas.

Kiai Mahfud tersenyum lemah. “Kalau yang dimaksud ilegal itu tak punya izin tertulis, iya, Nak. Tapi Kiai hanya ingin ngajarkan Qur’an, bukan cari untung.”

Satu Cerita, Ribuan Kenyataan

Fenomena pesantren ilegal bukanlah satu dua. Tetapi di Jawa Barat saja, data terus menunjukkan jumlah yang terus meningkat.

Banyak pesantren berdiri tanpa izin, tanpa fasilitas standar, bahkan tanpa guru tetap. Tapi apakah semuanya patut dicurigai?

Sebagian dari mereka berdiri karena keadaan, sebab desa tak punya akses pendidikan agama.

Karena rakyat rindu mengaji, tapi negara belum hadir sepenuhnya.

“Negara bukan musuh, Nak,” ujar Kiai Mahfud tenang, “tapi kadang negara tak sempat dengar suara-suara kecil macam kita.”

Baca juga:  Penggunaan Terapi Plasma Konvalesen pada Pasien Covid-19

Akar Masalah Bukan Sekadar Legalitas

Banyak orang menyalahkan Kiai Mahfud, dan sejenisnya. Tapi masalah ini lebih dalam dari sekadar izin.

Sistem pendidikan yang kita miliki saat ini menomorduakan pendidikan agama.

Negara seperti hanya ‘membolehkan’, tapi tidak sungguh-sungguh menyediakan.

Sekularisme menjauhkan agama dari kebijakan. Kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis. Siapa yang kuat, dia bertahan. Yang miskin? Harus berjuang sendiri.

“Kalau saya harus daftar izin, saya butuh uang jutaan, Pak,” keluh Kiai Mahfud pada petugas kecamatan saat ingin mengurus legalitas tahun lalu.

“Saya lebih baik belikan Alquran dan makan untuk santri dulu. Bukankah itu juga demi negeri?”

Islam Tak Pernah Menelantarkan Pendidikan

Dalam sejarah Islam, rakyatnya tidak pernah dibiarkan belajar di bilik reyot tanpa perhatian dari negara.

Rasulullah SAW, menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama.

Setelah Perang Badar, beliau meminta tawanan perang mengajarkan baca-tulis sebagai bentuk tebusan.

Baca juga:  Air Sumur Tercemar, Warga Rancaekek Bandung Gusar

Itulah, tanda awal negara Islam serius dalam mendidik rakyat.

Madrasah dibangun dan guru tetap ditugaskan Umar bin Khattab untuk mendidik rakyatnya.

Pemerintahan Islam, menjadikan pendidikan gratis dan berkualitas.

Negara bukan hanya hadir untuk menertibkan, tapi juga mencukupi seluruh kebutuhan.

Allah SWT berfirman, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)

Harapan Kiai Mahfud untuk Negeri

Hari mulai sore. Santri telah usai mengaji. Kiai Mahfud duduk sendiri di emperan mushala, menatap langit yang mulai jingga.

“Saya tak takut razia, Nak,” katanya pada Asep yang duduk di sampingnya.

“Saya hanya takut… kalau suatu hari, negeri ini kehilangan cinta pada ilmu.”

Ia mengelus kepala Asep, lalu berkata lirih, “Semoga Allah kirim pemimpin yang bukan cuma bisa menertibkan, tapi juga menolong dan membesarkan kami.” ***