Cukai Naik, Perokok Anak Bisa Turun

Images
CUKAI rokok. ils/net

JAKARTA, ruber.id – Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menyatakan perokok anak di Indonesia terus mengalami peningkatan.

Pada 2013, prevalensi perokok anak berkisar 7.1% dan selama kurun waktu 5 tahun, angkanya meningkat menjadi 9.1%.

Pada diskusi Membendung Jumlah Perokok Anak Lewat Kenaikan Cukai yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Bekerjasama dengan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia melalui zoom, Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari khawatir kondisi ini dapat memperburuk kondisi anak.

“Anak (Indonesia) masih menjangkau rokok, apalagi dengan harga batangan,” kata Lisda.

Pemerintah, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, berupaya menurunkan perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 5.7%.

Menurut Lisda, hal ini muskil dilakukan ketika pemerintah tidak mempunyai tindakan yang serius.

“Kalau mau serius, harusnya cukai itu lebih dari 57%. Kemudian, larang juga promosi iklan dan rokok batangan,” jelasnya.

Temuan Lentera Anak ini, sejalan dengan hasil riset dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI).

Tentang tingkat prevalensi merokok pada anak di Indonesia spesifik pada efek harga dan efek teman sebaya pada tahun 2020.

Baca juga:  Pemkab Ciamis Diminta Buat Kawasan Tanpa Rokok

Hasilnya, dua komponen tersebut memberi peluang anak untuk merokok.

Kepala Tim Riset PKJS-UI Teguh Dartanto menyatakan, makin mahal harga rokok, maka akan makin kecil peluang anak merokok, dan semakin sedikit pula konsumsi rokok batangan tiap minggu.

“Kenaikkan harga rokok menjadi kunci pengendalian rokok pada anak,” kata Teguh, yang juga Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini.

Teguh menyebutkan, harga rokok murah dapat berpengaruh besar terhadap perilaku merokok anak usia remaja tingkat SMA, dibandingkan usia SMP dan SD.

“Harga rokok berhubungan negatif dengan peluang anak merokok dan intensitas konsumsi rokok,” sebutnya.

Teguh mengaku khawatir, pemerintah maupun pihak sekolah tidak menyadari akan hal ini.

Teguh menyarankan, ke depan ada larangan iklan rokok di sekitar sekolah. Termasuk juga sanksi.

Jadi, kata Teguh, tidak hanya sanksi untuk siswa, akan tetapi juga untuk penyelenggara pendidikannya.

Sementara, Analisis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wawan Juswanto menjelaskan, kebijakan cukai hasil tembakau dapat dilihat dari tarif cukai dan harga jual ecerannya.

Baca juga:  Jangan Lewatkan! Auto Surprise di Ulang Tahun ke 17 GTV Malam Ini

Tarif cukai, kata Wawan, tergantung pada jenis rokok, golongan pabrik, dan harga eceran yang ditentukan Menteri Keuangan (Menkeu).

Berdasarkan Pasal 5 ayat 1, dan Pasal 6 ayat 3 UU Nomor 39/2009 tentang Cukai.

Berdasarkan beleid tersebut, saat ini, tarif cukai pada rokok konvensional sebesar 23%.

Sedangkan pada produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sebesar 57%.

“Pada tahun 2019, harga rokok menjadi relatif murah karena tidak ada kenaikkan tarif cukai,” jelasnya.

Wawan menyadari, adanya dampak buruk pada anak akibat konsumsi rokok.

Ke depan, kata Wawan, Kemenkeu akan membuat kebijakan lebih tegas. Tujuannya, menurunkan tingkat prevalensi merokok anak dalam rangka peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

“Kebijakan cukai ini akan tetap ditujukan untuk mengendalikan konsumsi barang yang berdampak negatif,” katanya.

Wawan mengatakan, tantangan yang dihadapi pemangku kebijakan saat ini yakni, kementerian belum memiliki tujuan yang sama dalam mengurus kenaikkan cukai rokok.

Maka dari itu, kata Wawan, perlu disusun suatu roadmap yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak.

Dalam diskusi, Pengamat ekonomi senior Faisal Basri menilai, pemerintah perlu meratifikasi Kerangka Kerja Kebijakan Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control atau FCTC), selain menaikkan cukai.

Baca juga:  Presiden Jokowi Minta Pemerintah Daerah Tegas Informasikan Potensi Kebencanaan

Faisal menjelaskan, ratifikasi ini akan membuat anak membatasi pemakaian produk tembakau.

“Indonesia adalah salah satu negara yang belum menandatangani FCTC. Segera ratifikasi, supaya tidak main-main lagi,” jelasnya.

Faisal juga menyoroti kondisi perokok yang mempunyai risiko terserang virus corona atau Covid-19 di masa pandemi.

Sebab, virus ini menyerang saluran pernapasan.

Faisal meminta, pemerintah menyambut momentum ini dengan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kenaikan Cukai Rokok.

“Buat Perppu, kan sedang darurat Covid-19,” ucapnya.

Sementara itu, terkait diskusi soal kesehatan publik ini, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani menilai, jurnalis memiliki peran untuk menyuarakan mereka yang tidak bisa bersuara.

“Anak, dalam hal ini tidak bisa bersuara. Terutama, dalam kasus prevalensi merokok. Jangan sampai mereka menjadi korban zat adiktif,” katanya. (R015/dede)

Baca Juga: Blokir Iklan Rokok, Pemerintah Sisir Internet hingga ke Medsos