BERITA TASIKMALAYA, ruber.id – Tempat wisata alam terbuka kini bermunculan di berbagai daerah, alam bebas menjadi sahabat bagi berbagai kalangan untuk berpetualang mengisi liburan. Salah satunya, dengan mengarungi sungai alias berarung jeram di Sungai Ciwulan, Tasikmalaya.
Rimbun pepohonan di perbukitan yang menghampar hijau menyambut kedatangan para pelancong asal Garut, Bandung, Bekasi, dan Jakarta di Ciwulan River Land, Kampung Leuwibilik, Kelurahan Leuwiliang, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat lalu.
Mereka adalah para wisatawan yang datang untuk menjajal jeram-jeram di aliran Sungai Ciwulan.
Ini bukan pengarungan biasa. Sebab, mereka tidak hanya memakai perahu karet dalam mengarungi Sungai Ciwulan, alat yang dipakai beragam: dari perahu karet berkapasitas tujuh orang, lima orang, riverboarding, hingga kayak.
Tak ada tiket masuk untuk berkunjung ke Ciwulan River Land, makanan dan jajanan di sana juga relatif murah meriah.
Pengunjung hanya diminta membayar parkir kendaraan yang tak dipatok besarannya.
Keluarga yang dibawa serta para pecinta olahraga arus deras ke sana, menunggu di beberapa saung — bangunan menyerupai rumah berbahan kayu — yang berdiri di sepanjang sisi sungai.
Bangunan saung itu dibangun para pemilik warung yang menyediakan beragam menu makanan hingga jajanan.
Anak-anak bebas bermain di sekitar saung. Mereka berlarian, bermain petak umpet, bahkan ada juga yang bersantai berayun-ayun di atas hammock yang dipasang di antara dua pohon besar.
Para pelancong yang bermalam, bisa mendirikan tenda di tempat khusus kamping di Jontor, Kampung Leuwiliang, hanya berjarak beberapa puluh meter dari Ciwulan River Land.
Di sana tersedia tanah lapang yang mampu menampung puluhan tenda berukuran besar.
Ciwulan River Land yang dibuka sejak dua tahun lalu itu, tak hanya dijadikan tempat pendaratan para pengarung sungai.
Di sisi sungai yang bersumber air dari pegunungan Cikuray — di Kabupaten Garut — ini sering dijadikan pusat pendidikan konservasi air, river rescue, hingga dijadikan pusat aksi Hari Peduli Sampah Nasional oleh gabungan komunitas pecinta alam dan konservasi lingkungan.
Lingkungan Ciwulan River Land hingga tempat perkemahan Jontor sengaja tidak dibangun fasilitas-fasilitas yang bersifat memanjakan pengunjung.
Alasannya, untuk menjaga kondisi alam dan ekosistem lingkungan agar tidak rusak.
Fasilitas yang dibangun cukup seadanya, agar sensasi alam terbuka tetap melekat.
Tokoh pegiat pecinta alam dan konservasi lingkungan yang tergabung dalam komunitas Republik Aer, Harniwan Obech menyebut contoh destinasi ekowisata yang sesungguhnya seperti di Ciwulan River Land.
“Sebetulnya, ini contoh nyata ekowisata yang benar. Pengelola tidak mengubah fungsi lingkungan yang berisi pepohonan hutan sebagai sumber oksigen dan sumber kehidupan manusia.”
“Tak perlu pembangunan fasilitas yang merusak ekosistem,” jelas Harniwan Obech, Sabtu (20/11/2021).
Mang Obech — sapaan akrab Harniwan — mengatakan, pengelola ekowisata dituntut mampu menjaga keaslian alam dan lingkungan, apalagi di sekitarnya masih dikelilingi hutan.
“Kan judulnya juga wisata adventure, wisatawan harus disuguhi lokasi yang alami. Kalau mau nyaman, pikniknya di hotel yang ada di kota,” ujarnya sambil terkekeh.
Jika sebuah tempat wisata mengganggu ekosistem lingkungan dengan pembangunan beragam fasilitas yang megah, tempat itu sebut Obech, tak bisa disebut destinasi ekowisata.
Tempat melancong yang masuk kriteria ekowisata adalah yang mampu menyuguhkan pengetahuan tentang alam, budaya, dan kultur masyarakat lokalnya.
“Saya tegaskan, ekowisata itu yang tidak merusak alam, melindungi kealamian lingkungan, tapi mendorong kesejahteraan masyarakat sekitar destinasi,” ucapnya.
Penulis: Andy Kusmayadi/Editor: R003