Latar Belakang Perang Diponegoro

Perang Diponegoro
Perang Diponegoro. ils/net

KOPI PAGI, ruber.id – Perang Diponegoro yang dikenal dengan sebutan Perang Jawa atau The Java War/De Java Oorlog adalah perang besar.

Dalam catatan sejarah, perang ini berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (Sekarang Indonesia).

Perang Dipenogoro

Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di nusantara.

Melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock.

Ia berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Perseteruan pihak Keraton Jawa dengan Belanda dimulai sejak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808.

Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (Saat itu Belanda dikuasai oleh Prancis).

Tetapi, Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak Keraton Jawa.

Daendels memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya.

Daendels juga memmbangun jalur antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo.

Baca juga:  Sejarah Palang Merah Indonesia

Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain.

Hal ini menyebabkan terjadinya perseteruan antarkeluarga keraton (1811).

Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.

Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda Van der Capellen.

Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro.

Yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814).

Sementara Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus wali raja.

Sedangkan Patih Danuredjo III bertindak sebagai wali raja.

Residen baru Yogyakarta pengganti Nahuys, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert bertindak keterlaluan dengan terlibat dalam penunjukkan Sultan pada bulan Juni 1823.

Penunjukan itu untuk menggantikan Sultan Hamengku Buwono III yang meninggal mendadak.

Baca juga:  Ziarah Makam Prabu Geusan Ulun, Penerus Tahta Kerajaan Pakuan Padjadjaran

Smissaert duduk di atas tahta seraya menerima sembah dan bakti para bupati mancanagara dalam lima upacara Garebeg selama 31 bulan masa jabatannya sebagai Residen.

Pangeran Diponegoro memang tetap menerima posisi sebagai Wali Sultan bersama Mangkubumi, Ratu Ageng dan Ratu Kencono (Ibunda Sultan balita).

Namun, posisi pangeran semakin tidak dianggap.

Smissaert mengabaikan pendapat Pangeran Diponegoro dalam persoalan ganti rugi sewa tanah yang dapat membawa Kesultanan pada kebangkrutan.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta.

Patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang.

Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak pada bulan Juli.

Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro meminta untuk mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.

Pada Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo, sebelum perang pecah.

Baca juga:  Goa Safarwadi Tasikmalaya, Misteri Dibalik Cerita Jalan Tersembunyi Tembus ke Mekkah

Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun.

Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang.

Dengan semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”.

“Sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”.

Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.

Bahkan, Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan.

Meskipun hal ini,menjadi kontroversi tersendiri.

Perjuangan Diponegoro dibantu Kiai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.

Dalam perang Jawa ini, Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Bupati Gagatan Raden Tumenggung Prawirodigdoyo.

Penulis: Eka Kartika Halim/Editor: Bam