DEPOK, ruber.id – Dua warga Beji, Kota Depok, Jawa Barat surati Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Surat dilayangkan Anita Wulandari dan Waluyo. Keduanya mengaku mengalami ketidakadilan hukum di Pengadilan Negeri Depok.
Surat disampaikan terbuka kepada Presiden Joko Widodo hari ini, Senin (20/4/2020).
Anita menjelaskan, menyurati Jokowi karena diduga terjadi ketidaktelitian majelis hakim di PN Depok dalam melihat fakta dan bukti di persidangan.
Persidangan dimaksud adalah perkara jual beli rumah yang melibatkan kedua orangtuanya, yang sudah meninggal dunia, melawan seorang perempuan berinisial N.
Anita mengatakan, pada tahun 2013 lalu, kedua orangtuanya melakukan pinjaman uang kepada N sebesar Rp250 juta, dengan jaminan berupa sertifikat tanah asli.
Selanjutnya, N membuatkan Surat Persetujuan dan Kuasa kepada Anita Wulandari, sebagai ahli waris kedua orangtuanya.
Penjaminan sertifikat tanah ini tertanggal 25 Februari 2013.
“Pembuatan surat persetujuan dan kuasa itu dilakukan di atas kertas kosong,” jelasnya.
Anita mengaku, hari itu tidak pernah ada transaksi jual beli antara orangtuanya dengan N.
Yang ada, kata Anita, kedua orangtuanya ini secara sah menjual rumah tersebut kepada Waluyo.
Itu dilakukan usai meminjam uang kepada N karena ingin menebus sertifikat rumah, yang saat itu dijadikan jaminan.
Di lain sisi, uang dari Waluyo ini digunakan untuk mengobati ayah Anita yang saat itu sakit keras.
Akan tetapi, kata Anita, atas dasar Surat Persetujuan dan Kuasa itu, N justru membuat akta jual beli (AJB) di salah satu kantor notaris di Kota Depok.
“Atas nama keluarga, saya tidak pernah menjual rumah ini, selain ke Pak Waluyo.”
“Saya meminta Pak Presiden untuk penegakkan (hukum) seadil-adilnya,” ujarnya.
Anita menyebutkan, 6 bulan berselang sejak dibuatkan AJB, tiba-tiba N datang ke rumah orangtua lnya, yang saat itu sudah ditempati Waluya.
N datang dengan membawa AJB tersebut dan di depan Waluyo, N mengaku sebagai pemilik rumah dan meminta Waluyo angkat kaki.
Akan tetapi, karena Waluyo tidak mau keluar, N pun menggugat Waluyo ke PN Depok.
Dalam sidang gugatan ini, Majelis Hakim di PN Depok memenangkan, dan menetapkan N sebagai pemilik sah rumah tersebut.
Putusan ini juga diperkuat Pengadilan Tinggi dalam sidang banding.
Termasuk, pada sidang kasasi yang diperjuangkan Waluyo di Mahkamah Agung (MA).
Atas putusan ini, N berkekuatan hukum tetap untuk memiliki tanah, berikut rumah, berkat AJB yang tidak sah di awal.
Meski demikian, Waluyo tetap bersikeras tinggal di rumah tersebut.
Hingga akhirnya, pada tahun 2019, N mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PN Depok.
N meminta agar Waluyo, termasuk Anita keluar dari rumah tersebut.
Informasi ini pun diterima Anita melalui sidang aanmaning, pada 23 Oktober 2019 yang menyatakan, dalam 8 hari harus secara sukarela keluar dari rumah tersebut.
Jika tidak, konsekuensi hukumnya yakni pelakasanaan eksekusi paksa oleh pengadilan.
Anita mengharapkan agar Jokowi bisa mendengar ketidakadilan hukum di Pengadilan Negeri di Depok ini.
Selain itu, Anita berharap Presiden Jokowi bisa membatalkan penetapan Ketua PN Depok.
Dan menghentikan ekseskusi tanah berikut rumah warisan orangtuanya ini untuk selamanya.
“Semoga dengan sedikit perhatian ini Bapak Presiden Jokowi, maka orang-orang yang disumpah dapat membatalkan penetapan ketua PN Depok tanggal 17 Februari 2020.”
“Sekaligus, menghentikan selamanya rencana mengeksekusi tanah berikut rumah milik orangtua kami,” harapnya.
Anita menegaskan AJB yang menjadi bukti yang dimenangkan N, hingga berkekuatan hukum tetap itu saat ini tidak sah.
Karena, kata Ana, AJB Nomor 33/2013 itu dibuat secara tidak sah.
“Tidak ada yang menjual kepada N, karenanya produk hukumnya pun dinyatakan tidak sah atau dinyatakan batal demi hukum,” jelasnya, seperti yang ia tulis dalam surat untuk Presiden Jokowi.
Waluyo juga surati Presiden Jokowi dengan harapan, PN Depok bisa memutus perkara dengan sejujur-jujurnya, dan diputus dengan sangat teliti.
Sebab, kata Waluyo, majelis hakim sangat kurang jeli memeriksa perkara jual beli yang melibatkan N dengan orangtua Anita.
“Saya memohon agar yang berwenang membantu sehingga lebih jelas hak jual beli rumah saya ini,” sebutnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Anita, Erizal menjelaskan akan terus maju untuk melawan eksekusi rumah, yang akan dilakukan PN Depok, mengacu pada penetapan ketua pengadilan.
Sidang aanmaning 23 Oktober dalam 8 hari harus secara sukarela keluar, kalau tidak konsekuensi hukumnya adalah pelakasanaan eksekusi paksa.
“Jadi, sebelum 8 hari dari 23 Oktober itu, kami mengajukan perlawanan ahli waris atas dasar bahwa objek yang akan dieksekusi milik mereka sebagai warisan. Putusan tanggal 21 April 2020,” ujarnya. (R007/Moris)
Baca berita lainnya: Dua Tahun Buron, Kejari Depok Eksekusi Terpidana Kasus Penganiayaan