BANDUNG, ruber — Dalam kontestasi Pemilu 2019, di Jawa Barat memang tidak terdapat calon anggota legislatif berstatus mantan napi koruptor.
Walau begitu, pemilih diimbau tetap jeli dalam mencermati rekam jejak caleg-caleg tersebut.
BACA JUGA: Ini Dia Daftar 49 Caleg Eks Koruptor yang Dirilis KPU
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati menyebutkan, selama masa kampanye, masih ada caleg-caleg yang perlu diwaspadai, lantaran masih sulit melepas kebiasaan “merayu” pemilih menggunakan politik uang.
“Masih ada caleg yang menghalalkan politik uang, atau bagi-bagi barang maupun materi lainnya yang tidak diatur undang-undang,” ujarnya, Minggu (3/2/2019).
Menurut Neni, ada berbagai modus yang dilakukan para caleg untuk menyamarkan aksi politik uang. Salah satunya dalam bentuk jasa seperti pembagian kartu sehat.
“Padahal, kasus money politics ini sudah ada juga yang diproses. Contohnya terjadi di Kabupaten Cianjur. Pelakunya dijatuhi vonis 6 bulan karena membagikan sembako pada masyarakat,” ucapnya.
Perilaku lainnya yang perlu diwaspadai adalah kandidat petahana yang memanfaatkan fasilitas negara ketika berkampanye.
Salah satunya, menurut Neni, ketika caleg turun ke lapangan untuk melaksanakan reses.
“Jika calon itu melaksanakan reses tanpa membagikan bahan kampanye itu, ya itu kita anggap sebagai reses betulan.”
“Tapi, jika dalam kegiatan itu caleg membagikan bahan kampanye, maka itu sudah termasuk pelanggaran kampanye, karena sudah menggunakan fasilitas negara,” ucap Neni.
Situasinya jadi lebih parah jika dalam reses, calon petahana membagikan sembako.
Repotnya, sambung Neni, pengawasan terhadap reses masih lemah.
Apalagi, masyarakat di daerah kadang tak mampu membedakan mana kegiatan reses dan yang mana kampanye.
“Jika melakukan kegiatan atas nama reses, tentu para caleg pun tidak menyampaikan pemberitahuan pada Bawaslu. Untuk itu, pengawas kampanye perlu lebih jeli,” ujarnya.
Caleg yang juga perlu diwaspadai adalah mereka yang menggunakan agama sebagai komoditas politik.
Neni mengatakan, terkadang awalnya caleg itu menghadiri pengajian untuk memenuhi undangan warga, namun ujung-ujungnya malah berkampanye.
“Padahal, regulasi secara tegas melarang peserta pemilu untuk berkampanye di tempat ibadah,” katanya. red