BERITA PANGANDARAN, ruber.id – Warga Dusun Bojongsari RT2/3 Desa Babakan, Kecamatan/Kabupaten Pangandaran, mengaku resah sejak digenjotnya pemberitaan reaktivasi jalur kereta api Banjar-Pangandaran.
Pasalnya, salah satu kampung di lokasi tersebut dilewati oleh lintasan kereta api nonaktif beberapa tahun silam, relasi Banjar-Cijulang.
Kendati demikian, mereka percaya bahwa pemerintah akan memperlakukan warga yang rumahnya menggunakan lahan PT KAI dengan sikap manusiawi, yakni dengan memberikan santunan.
Warga setempat, Sumarlan, 48, mengaku, keberadaan rumah warga dilahan PT KAI tidak ilegal.
Mereka menyewa lahan PT KAI, secara resmi dengan membayar sewa setiap tahun dan besaran nominal tergantung dari luas lahan yang digunakan.
“Ini buktinya! Kami tidak menyalahgunakan lahan seperti persepsi masyarakat luar sana,” kata Sumarlan sambil memperlihatkan surat perjanjian sewa yang dikeluarkan PT KAI.
Sumarlan menuturkan, dirinya sudah 12 tahun tinggal di lahan PT KAI. Sementara, rumah miliknya di Bulak Laut terkena tsunami tahun 2006 silam dan tidak kebagian bantuan rumah seperti warga lainnya.
“Jadi, saya buat rumah di lahan PT KAI ke Dalop II Bandung dengan sistem sewa,” tuturnya kepada ruber, Minggu (6/1/2019).
Sumarlan menyebutkan, dirinya sangat mendukung rencana pemerintah terkait reaktivasi jalur kereta api Banjar-Pangandaran.
“Saya pribadi, khususnya masyarakat yakin tidak akan menentang rencana itu. Sebab, kami sadar bahwa lahan yang digunakan bukan hak milik,” sebutnya.
Hanya, dirinya berharap ada perlakuan manusiawi dari pemerintah setempat.
Sumarlan mengungkapkan, pihaknya percaya di bawah kepemimpinan Bupati Jeje masyarakat pengguna lahan PT KAI akan mendapat perlakuan manusiawi.
“Kami yakin, Pak Bupati tidak akan menyengsarakan rakyatnya. Seperti kasus nelayan Pangandaran, hanya memindahkan perahu dari kawasan wisata saja diberikan penggantian perumahan, apalagi ini mindahin rumah,” ungkapnya.
Hal senada dikatakan Rudi, 43. Sejak mendengar wacana reaktivasi jalur kereta api Banjar-Pangandaran, dirinya dilanda kegelisahan. Alasannya, sampai saat ini dia belum memiliki lahan sendiri.
“Kami bingung mau pindah ke mana. Saya berharap pemerintah dapat mengayomi masyarakatnya,” ujarnya.