BERITA SUMEDANG, ruber.id – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) berkomitmen mengawal kasus dugaan korupsi terkait proyek pembangunan Jalan Tol Cileunyi, Sumedang, Dawuan (Cisumdawu) yang tengah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumedang meminta PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) untuk memblokir uang ganti rugi (UGR) atau konsinyasi proyek pada tahap 1 tahun 2021.
MAKI menilai, langkah tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengungkapkan, pada 6 Juni 2024, Kejari Sumedang menginstruksikan BTN memblokir UGR kepada pemilik lahan terkait penyidikan dugaan tindak pidana korupsi.
Hal ini, dilakukan untuk memastikan bahwa pembayaran UGR diberikan kepada pihak yang benar-benar berhak.
Namun, di tengah proses persidangan, muncul dugaan adanya tekanan kepada BTN untuk mencairkan dana tersebut kepada ahli waris yang belum jelas status kepemilikannya.
Boyamin menegaskan, tekanan semacam ini dapat dikategorikan sebagai tindakan obstruction of justice, yang melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Pelanggaran ini, diancam dengan hukuman penjara hingga lima tahun.
BTN sempat diduga melawan hukum karena menolak mencairkan UGR yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Sumedang pada 1 Juli 2024.
Beberapa pihak menyebut, langkah pemblokiran itu cacat hukum dan berpotensi menghambat Proyek Strategis Nasional (PSN).
Menanggapi hal tersebut, Boyamin mendukung penuh sikap BTN yang tetap menahan pencairan dana hingga ada putusan hukum tetap (inkracht) dalam kasus ini.
Menurutnya, BTN justru berpotensi menghadapi risiko hukum yang lebih besar jika mencairkan dana sebelum proses hukum selesai.
“BTN tidak boleh tunduk pada tekanan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Jika hal ini terus terjadi, MAKI siap melaporkan pihak-pihak tersebut ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” tegas Boyamin.
Sidang pada 12 Desember 2024 mengungkap lima terdakwa dalam kasus ini, termasuk pemilik lahan hingga mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) memaparkan bahwa kasus bermula pada 2019-2020 saat pembebasan lahan di Desa Cilayung, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Dalam proses tersebut, ditemukan pelanggaran hukum berupa pengalihan hak kepemilikan tanah setelah penetapan lokasi oleh Gubernur Jawa Barat pada 2005.
Selain itu, terdapat dugaan manipulasi data kepemilikan dan mark-up nilai ganti rugi, di mana lahan dinilai Rp6 juta per meter, jauh di atas harga pasar yang hanya Rp1 juta hingga Rp3 juta per meter. Negara, diduga merugi hingga Rp130 miliar.
Boyamin mengingatkan, agar semua pihak menghormati proses hukum yang tengah berjalan.
Ia mengimbau agar tidak ada upaya tekanan terhadap pihak-pihak terkait, termasuk BTN, yang berpotensi melanggar hukum.
“Keputusan pengadilan nanti bisa saja merampas seluruh uang ganti rugi atau hanya sebagian yang diberikan kepada pihak yang berhak. Maka dari itu, proses ini harus dihormati demi keadilan,” ucap Boyamin.***