Kontestasi Pemilu 2019 dan Tasawuf Politik

OLEH: Hasbi Habibi Ach

INDONESIA dalam perjalanannya terbentuk karena ada suatu komitmen politik.

Komitmen ini mesti dijaga melalui pesta demokrasi yang sejatinya memiliki nilai demokrasi, persatuan dan ke-Tuhan-an (ke-Illahi-an).

Apabila seluruh nilai tersebut kandungannya hilang, maka perhelatan pesta demokrasi di tanah air dengan beragam suku, agama, dan budaya dapat berujung kerusuhan (chaos) tanpa bertepi.

Dalam konteks ini, perlu sebuah pendekatan untuk memutus rantai politik SARA dan ujaran kebencian, provokasi termasuk kabar/konten hoaks.

Tasawuf politik adalah pendekatan yang terbilang aneh dan terkesan memaksa.

Lantas apa hubungannya masalah ini dengan tasawuf politik? Ada sedikit kesamaan antara politik dan tasawuf karena keduanya melekat dengan subjeknya.

Politik akan melekat dengan kehidupan politikus ke mana pun dan di mana pun.

Begitu juga dengan tasawuf, penganut tasawuf atau sufi akan memandang masalah dengan kejernihan pemikiran dan hatinya di mana pun dan kapan pun ia berada.

Dalam tasawuf dikenal ajaran pemurnian ‘Cinta’. Cinta menjadi napas seorang sufi sehingga kehidupannya berorientasi kepada cinta pada Sang Pencipta.

Di dunia politik, ‘Cinta’ acapkali hanya fatamorgana. Politikus akan mendadak cinta menjelang pemilihan dan akan mengejar cinta jika ada kekuasaan.

Untuk mengatasi hal ini, maka tasawuf bisa menjinakkan politik praktis gaya saperti itu, karena tasawuf merupakan tariqoh atau jalan menuju masyarakat beradab.

Baca juga:  Kisah Mayangsari Penunggu Pohon Ketapang Laut di Parigi Pangandaran

Sosok Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273 M) penyair sufi kenamaan asal Qonya, Turki melalui salah satu kitab masterpice-nya ‘Fihi ma Fihi’ (Inilah yang sesungguhnya dari esensi kehidupan) mengulas bagaimana ajaran tasawuf tidak pernah memperalat agama demi kepentingan apapun termasuk politik.

Rumi mengajarkan bahwa kekuasaan ditempatkan menjadi nomor sekian karena yang utama adalah menunaikan perintah Tuhan dengan ‘Cinta’.

Baginya, ‘Bersahabat dengan Tuhan, Sang Pencipta’ akan membawa manusia berhati-hati termasuk dalam berkontestasi.

Dengan demikian, konsep tasawuf politik akan menyadarkan politikus agar menggunakan cara terhormat dan saling memuji lawannya karena keunggulan dan kelebihannya.

Konsep ini juga bisa mendewasakan elite politik demi kepentingan bersama.

Jauh sebelum era Rumi, aplikasi tasawuf dalam politik diterapkan oleh Umar bin Abdul Azis.

Khalifah atau pemimpin terbaik dalam Dinasti Umayah (717-720 M) ini awalnya menolak ditunjuk sebagai khalifah dalam proses musyawarah.

Ia merasa tidak layak memikul jabatan dengan kekuasaan yang membentang dari Jazirah Arab, Asia Tengah, Afrika Utara, hingga Eropa Selatan.

Saat dinobatkan sebagai kepala pemerintahan, ia tak lantas menerima, bahkan merasa keberatan karena banyak kandidat lain yang lebih unggul.

Sebuah perilaku dewasa dan bijak dalam berkontestasi. Umar akhirnya terpilih sebagai khalifah, dan satu-satunya khalifah Umayah yang berasal dari luar garis keturunannya.

Baca juga:  Anggaran Potong Rumput Minim, 11 Taman di Pangandaran Terancam "Sareukseuk"

Di Indonesia, sosok Pahlawan Nasional Agus Salim adalah teladan yang mencerminkan nilai tasawuf.

‘Leiden is lijden’, sebuah pepatah Belanda, dikutip Mohammad Roem dalam tulisannya H Agus Salim.

Roem menggambarkan Agus Salim sebagai tokoh yang menolak gurita kekuasaan karena memimpin berarti menderita (baca: penuh perjuangan).

Menghubungkan tasawuf dengan politik bisa membantu meluruskan tujuan politik itu sendiri, yakni mewujudkan kebaikan bersama (sejalan dengan teori klasik Aristoteles).

Jika politikus memahami ajaran tasawuf, orientasi mereka akan bermuara kepada “cinta” melebihi dari kerakusan dan kefanaan dunia.

Tasawuf mengajarkan bahwa ‘Cinta’ kepada Tuhan adalah universal (bermanfaat bagi semua), dan bukan sekadar menjalin hubungan vertikal dengan Tuhannya.

Kekuasaan ditempatkan sebagai gagasan tertinggi jika tujuannya untuk kebaikan dan memberi manfaat.

Jika politikus sadar dan menempatkan politik sebagai jalan menuju cinta kepada Tuhannya, alangkah indahnya demokrasi di Indonesia.

Dalam konteks ini, maka kajian nilai-nilai kepemiluan harus diprioritaskan, bukan malah hal-hal teknis yang diprioritaskan.

Ibarat rumah yang bisa berdiri kokoh meski diterpa angin kencang, badai besar. Itu karena pondasinya bagus dan kuat.

Sama halnya dengan perkawinan. Perkawinan bisa lama karena dasar dan pondasi percintaan dan kasih-sayang yang kuat yang merasuk ke dalam jiwa.

Baca juga:  Hukum Merayakan Tahun Baru

Untuk itu, partai politik harus bisa memberikan contoh yang baik, mengedukasi dan mendidik cara-cara berdemokrasi yang baik, tentunya masyarakat pun akan menjadi pendukung yang cerdas.

Selain itu, media massa juga memiliki peran yang sangat strategis dalam menyajikan pemberitaan yang objektif, informasi yang bisa dipertanggungjawabkan, dalam wujud berita yang menyejukkan.

Termasuk elemen demokrasi lainnya, jika bisa bersinergi dengan baik, maka akan terjadi keseimbangan dalam berpolitik yang akan mampu mendorong pelaksanaan kontestasi yang lebih bermartabat.

Kampanye jangan seperti ‘perang’, tetapi ini adalah kompetisi dalam mengambil simpati agar pelaksanaannya pun menjadi lebih ‘aduhai’ dalam bingkai ‘Cinta’.

Terkait bagaimana mencari simpati, semua pihak seyogyanya berlomba-lomba mencari simpati tanpa harus menggunakan isu sara, kabar hoaks dan atau ujaran kebencian dalam berkampanye.

Semua pelaksanaan pemilu akan terasa indah apabila seluruh pihak, baik pelaksana maupun pelaku yang terlibat dalam Pemilu 2019, mampu bersinergi bahu membahu dalam mewujudkan pemilu yang lebih beradab.

Mari kita bergandeng tangan untuk menyukseskan pesta demokrasi, Pemilu 17 April 2019 dapat berjalan sesuai dengan harapan bersama. (*)

*) Penulis adalah Hasbi Habibi Ach Pegiat Kajian Kepesantrenan asal Pesantren Miftahussalam Handapherang Ciamis.

loading…