Kebijakan Baru LPG 3 Kg Tidak Tepat!

Kebijakan Baru LPG 3 Kg Tidak Tepat
PENULIS: Meilani Sapta Putri (Pemerhati Kebijakan Pemerintah). Dok. Pribadi Penulis/ruber.id

OPINION, ruber.id – Masyarakat dibuat kisruh dengan kebijakan baru terkait penertiban distribusi LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 Kg, yang berawal dari larangan pemerintah untuk menjual eceran LPG 3 kg di warung-warung kecil.

Masyarakat, hanya bisa melakukan pembelian LPG 3 Kg di pangkalan-pangkalan resmi Pertamina.

OLEH: Meilani Sapta Putri (Pemerhati Kebijakan Pemerintah)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa, langkah tersebut bertujuan untuk memastikan subsidi pemerintah benar-benar dinikmati oleh kelompok yang berhak.

Seperti rumah tangga kurang mampu dan pelaku usaha mikro, juga demi menjaga kestabilan harga gas melon sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Sehingga, bisa mencegah terjadinya permainan harga dan menghindari praktik distribusi yang tidak terkontrol.

Hal ini juga, akan memudahkan pemerintah saat mengontrol alur jual beli, konsumen, dan besaran harganya.

Untuk itu, masyarakat hanya bisa melakukan transaksi pembelian gas melon tersebut di pangkalan resmi yang telah terdaftar dan memiliki izin dari Pertamina.

Kebijakan tersebut, jelas membuat masyarakat panik dan segera berbondong-bondong menuju pangkalan-pangkalan resmi Pertamina.

Akibatnya, terjadi antrian yang sangat panjang dan membuat warga geram karena lama serta harus menggunakan fotocopy KTP dan KK.

Lalu pada Selasa (4/2/2025), tiba-tiba Presiden Prabowo Subianto mengizinkan pengecer berjualan gas melon lagi. Dengan syarat, mereka harus memproses diri menjadi subpangkalan oleh pemerintah dan PT Pertamina.

Sebab, pengecer adalah garda terdepan dalam menghubungkan masyarakat dengan pangkalan.

Persyaratan ini, mengharuskan setiap penjual eceran untuk mendaftarkan diri pada website OSS (Online Single Submission) Republik Indonesia secara gratis. Agar mereka, terdaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi Pertamina dan mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB).

Sehingga, dengan adanya peraturan ini, para pengecer LPG 3 Kg bisa naik kelas menjadi pangkalan resmi bahkan nantinya bisa menjadi agen distribusi resmi.

Bahlil juga mengatakan, pedagang UMKM akan tetap diprioritaskan untuk menggunakan LPG 3 Kg, selama memenuhi syarat mutlak dalam proses administrasinya.

Berdasarkan keterangan resmi Pertamina Patra Niaga (PPN), saat ini sudah terdaftar 375.000 pengecer sebagai subpangkalan.

Kebijakan pengaturan penjualan LPG 3 Kg, dilakukan agar subsidi yang diberikan pemerintah tepat sasaran dan rapi. Jadi bukan untuk mempersulit (yang berhak).

Pemerintah berharap, dengan adanya perbaikan tata kelola penyediaan LPG 3 Kg ini, tidak ada lagi oknum pengecer yang menaikkan harga.

Harga elpiji di pengecer, seharusnya kisaran Rp4.000-Rp6.000 per kilogram (Seharga Rp12.000-Rp18.000 per tabung).

Tapi realitanya, selama ini harga di pengecer mencapai Rp24.000-Rp26.000 per tabung.

Bahlil juga mengingatkan, masyarakat agar tidak membeli LPG 3 Kg dalam jumlah banyak sekaligus. Harus ada pembatasan jumlah LPG 3 Kg di rumah masing-masing.

Di sela-sela wawancara, Bahlil memohon maaf atas kekisruhan yang terjadi di masyarakat terkait larangan pengecer menjual LPG 3 Kg kepada Presiden Prabowo Subianto.

Ia mengakui, memang hal tersebut belum dilaporkan kepada Pak Prabowo.

Maka dari itu, Bahlil menekankan, para menteri akan membereskan dan meluruskan kekisruhan LPG 3 Kg ini.

Kebijakan Lama Berulang Lagi

Jika ditelusuri, sebenarnya kebijakan yang serupa telah terjadi sejak lama.

Sebelum sampai pada fase ini, sejarah LPG 3 Kg telah melalui perjalanan yang panjang sejak awal kemunculannya demi menggantikan posisi minyak tanah sebagai sumber energi untuk memasak bagi masyarakat.

Di era SBY-JK tahun 2007, Jusuf Kalla adalah orang pertama yang memberikan gagasan mengenai penggunaan LPG 3 Kg.

Pada saat itu, pemerintah ingin melakukan pengurangan subsidi minyak tanah, karena subsidinya dinilai terlalu tinggi.

Sampai akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengonversi minyak tanah ke LPG 3 Kg.

Hasilnya, pemerintah berhasil menekan hingga ratusan triliun rupiah, menjadi lebih hemat dari pada penggunaan minyak tanah.

Selama tiga tahun, didata sebanyak 20 juta keluarga miskin menjadi target program tersebut.

Di tahun 2007-2010 memasuki Fase Cultural Jump, di mana banyak terjadinya kasus tabung LPG 3 Kg meledak. Ternyata, sejak program konversi minyak tanah menjadi LPG 3 Kg diluncurkan, banyak masyarakat yang masih belum bisa beradaptasi dengan sumber energi baru tersebut.

Kemudian di era Jokowi-JK tahun 2015, ternyata konsumsi minyak tanah mengalami penurunan secara drastis.

Saat itu, program konversi minyak tanah menjadi LPG 3 Kg dinilai sukses oleh pemerintah.

Konsumsi minyak tanah saat itu, turun dari 9,85 juta KL pada 2007 menjadi hanya 850.000 KL.

Di tahun 2016, pemerintah melakukan uji coba subsidi tertutup. Sistem tersebut, dibuat agar hanya masyarakat yang berhak saja bisa mendapatkan dengan harga subsidi.

Adapun mereka yang tidak mendapatkan subsidi, tetap dapat membeli LPG 3 Kg dengan harga normal atau nonsubsidi.

Sehingga, harganya akan lebih tinggi dari Rp16.000 per tabung. Hal ini, dilakukan agar penyaluran subsidi LPG bisa lebih tepat sasaran.

Kemudian, di era Jokowi-Ma’ruf Amin tahun 2020, kebijakan subsidi tertutup masih dalam proses pengkajian.

Kementerian ESDM, masih terus mencari mekanisme yang tepat untuk menyalurkan subsidi LPG 3 Kg.

Salah satu kendala yang menjadi perhatiannya, adalah faktor akurasi data.

Per 1 Januari 2024, pemerintah menentapkan pembelian LPG 3 Kg di pangkalan harus menunjukkan KTP.

Saat itu, Pertamina mulai menetapkan ketentuan bahwa, pembelian LPG 3 Kg hanya bisa di pangkalan dengan menunjukkan KTP.

Hal ini dilakukan, untuk kebutuhan pendataan agar subsidi sampai ke masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Kini, di era Prabowo-Gibran tahun 2025, kebijakan yang serupa masih diberlakukan yakni LPG 3 Kg hanya bisa dibeli di pangkalan resmi.

Per 1 Februari 2025, pemerintah mengeluarkan kebijakan LPG 3 Kg hanya dapat dilayani di pangkalan resmi Pertamina.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, hal ini bertujuan untuk mencegah adanya penyelewengan di tingkat pengecer.

Namun, jika diperhatikan kebijakannya masih tetap sama. Akan tetapi, kenapa dalam perjalanannya tetap saja selisih harga yang tinggi terjadi. Tidak tepat sasaran, dan terjadi banyak kecurangan seperti isi yang kurang dari 3 kilogram karena dioplos?

Sebenarnya apa yang menjadi persoalannya? Lagi pula jika memang administrasinya gratis dan mudah, kenapa masyarakat tetap mengeluh ribet dan sulit?

Baca juga:  Para Pelajar di Sumedang Dilatih Menjadi Agent of Change

Perubahan status pengecer menjadi subpangkalan atau pengecer resmi Pertamina, bukankah membutuhkan modal yang besar untuk membayar pembelian LPG 3 Kg dalam jumlah besar? Apakah para pengecer akan mampu?

Potensi Gas di Indonesia

Indonesia adalah negara kaya. Sebab, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang terkenal dengan dengan sumber daya alam yang melimpah. Termasuk, pertambangan gas alam.

Pemanfaatannya pun cukup beragam, mulai dari pembangkit listrik hingga bahan bakar.

Hal ini, dibuktikan dengan adanya potensi gas bumi Indonesia cukup besar, dengan cadangan sekitar 41,62 triliun kaki kubik persegi (TSCF).

Potensi ini, diproyeksikan bisa memenuhi kebutuhan nasional hingga 20 tahun mendatang.

Daerah penghasil gas alam di Indonesia kurang lebih ada sekitar 11 wilayah.

Berdasarkan dokumen Statistik Minyak dan Gas Bumi Semester I tahun 2022 keluaran Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, ada lebih kurang 11 wilayah di Indonesia yang termasuk penghasil gas alam.

Berikut 11 wilayah tersebut:

  1. Maluku adalah penghasil gas alam paling besar dengan jumlah potensi gas alam sebesar 10.134,66 billions of standard cubic feet of gas (BSCF). Wilayah penghasilnya, meliputi Kabupaten Maluku Barat Daya, dan Kabupaten Maluku Tengah.
  2. Papua memiliki potensi gas alam sebesar 9.806,14 BSCF. Wilayah penghasilnya, adalah Teluk Bintuni dan Sorong.
  3. Sumatera Bagian Selatan memiliki potensi gas alam sebesar 4.200,06 BSCF. Wilayah penghasilnya, Kabupaten Musi Banyuasin, Muara Enim, Musi Rawas, Lahat, Prabumulih, dan Penungkal Abab Lematang Ilir.
  4. Jawa Timur berpotensi gas alam sebanyak 3.175,69 BSCF. Wilayah penghasilnya, Pulau Bawean, Gresik, Madura, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Bojonegoro.
  5. Sulawesi memiliki potensi gas alam sebanyak 3.130,43 BSCF. Wilayah penghasilnya, Bone, Sengkang, Ogan Komering Ulu, Enrekang, dan Tana Toraja.
  6. Kalimantan memiliki potensi gas alam sebanyak 3.035,42 BSCF. Wilayah penghasilnya, Kota Bontang, Blok Mahakam, Tarakan, Balikpapan, dan Blok Sanga-Sanga.
  7. Jawa Barat berpotensi gas alam sebesar 1.168,09 BSCF. Wilayah penghasilnya Subang, Karawang, Indramayu, Majalengka, serta Kabupaten dan Kota Bekasi.
  8. Natuna, berpotensi gas alam sebesar 809,68 BSCF. Wilayah penghasilnya, Blok East Natuna dan Kepulauan Anambas.
  9. Sumatera bagian Tengah memiliki potensi gas alam sebesar 488,39 BSCF. Wilayah penghasilnya, Muaro Jambi.
  10. Aceh memiliki potensi gas alam sebesar 293,01 BSCF. Wilayah penghasilnya, Rayeu Aceh Utara dan perairan Andaman Selatan.
  11. Sumatera Utara juga, memiliki potensi gas alam sebanyak 103,14 BSCF. Wilayah penghasilnya Sumbagut, Pangkalan Susu, EMP Gebang, EMP Tonga, dan Bukit Energi Bahorok.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan di tahun 2024, produksi gas bumi diperkirakan mencapai 6.635 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD).

Itu artinya, terjadi peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Bahkan, pemerintah memprediksikan di tahun 2027-2028, akan ada beberapa proyek strategis di sektor hulu migas yang akan mempengaruhi peningkatkan produksi gas bumi Indonesia.

Salah satunya, proyek Geng North diperkirakan akan menghasilkan 1.000 MMSCFD ditambah dengan cadangan 4,1 TCF (trillion cubic feet /Triliun kaki kubik).

Sementara, proyek IDD Gandang Gendalo diperkirakan akan menghasilkan 4.900 MMSCFD dengan cadangan 6,3 TCF.

Proyek Andaman juga, ternyata memiliki potensi besar dengan produksi 527 MMSCFD dan cadangannya sekitar 6,3 TCF.

Temuan-temuan baru WK Migas ini, menunjukkan bahwa potensi gas alam Indonesia cukup besar dan akan terus dikembangkan.

Tentu, ini bisa menjadi harapan baru bagi Indonesia untuk memproduksi gas bumi di masa mendatang.

Pemanfaatan gas bumi dalam negeri yang terus melonjak hingga mencapai sekitar 68%, menunjukkan gas bumi telah menjadi sumber energi yang sangat diandalkan.

Gas bumi, gas rawa, dan gas alam, merupakan salah satu bahan tambang dengan cadangan paling banyak di Indonesia.

Gas alam terbentuk dari fosil sisa mikroorganisme, tanaman, dan hewan yang terpendam selama jutaan tahun di dalam permukaan bumi.

Di mana, gas alam ini, tersusun dari campuran gas hidrokarbon ringan. Seperti metana, etana, propana, dan butana.

Berbeda dengan batu bara dan minyak bumi, gas alam bisa menghasilkan polusi karbon yang rendah. Bahkan, termasuk paling bersih.

Itulah sebabnya, gas alam dimanfaatkan sebagai alternatif penggunaan minyak bumi.

Pemanfaatan gas alam di Indonesia semakin hari makin meningkat.

Dikutip dari situs web resmi Kementerian ESDM, realisasi penyaluran gas bumi untuk domestik di tahun 2023 mencapai 3.745 british thermal unit per day (BBTUD).

Pemanfaatan gas alam di Indonesia paling banyak adalah disektor industri, yang mencapai 40,5 persen atau 1.515,8 BBTUD dari realisasi penyaluran tahun 2023.

Contohnya, dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam pengolahan logam, baja, keramik, dan kaca.

Sedangkan diisektor pertanian, gas alam dimanfaatkan sebagai bahan baku amoniak.

Pemanfaatan gas alam juga, ditemukan di sektor pembangkit listrik tenaga gas alam.

Kebijakan Tidak Tepat

Kebijakan pelarangan pengecer menjual LPG 3 Kg yang diberlakukan kementrian ESDM pada 1 Februari 2025 lalu, menuai polemik di tengah masyrakat.

Menurut pemerintah, kebijakan tersebut bertujuan untuk memastikan distribusi LPG subsidi lebih terkendali, tertata, tepat sasaran, dan harga tetap terjangkau bagi masyarakat.

Namun, efeknya justru memicu kepanikan di tengah masyarakat. Hingga membuat mereka mengantri panjang berjam-jam di pangkalan resmi demi mendapatkan LPG 3 Kg.

Kondisi ini, nyatanya membawa duka setelah seorang ibu yang memiliki usaha menjual nasi uduk, ditemukan meninggal dunia usai antre membeli gas LPG 3 Kg selama dua jam di bawah terik matahari. Peristiwa ini, terjadi di Pamulang Barat, Tangerang Selatan.

Memang benar bahwa, kebijakan larangan penjualan gas LPG 3 kg secara eceran ini tidak hanya menyusahkan konsumen. Tetapi juga, mematikan pedagang kecil.

Bahkan, pedagang eceran ikut menjerit akibat tidak lagi bisa berjualan gas melon.

Mereka, diharuskan memiliki izin sebagai pangkalan jika ingin tetap menjual gas LPG 3 Kg.

Baca juga:  Harga Jual Anjlok, Petani Kopi di Garut Menjerit

Sementara, biaya yang diperlukan untuk menjadi pangkalan cukup besar. Sesuatu yang sulit dipenuhi oleh pedagang kecil.

Walau tujuannya agar tepat sasaran, dengan reputasi pemerintah yang kurang kompeten dalam menjalankan kebijakan sesuai harapan. Besar kemungkinan, program pembatasan ini tidak akan berjalan lancar dan minim kecurangan serta manipulasi.

Sangat besar terjadi kemungkinan bahwa masyarakat yang layak menerima subsidi LPG berdasarkan kriteria pemerintah. Tetapi pada akhirnya, tidak dapat karena masalah data kependudukan.

Alhasil, sistem pembatasan gas LPG 3 Kg ini, pada akhirnya akan membawa masalah baru.

Di sisi lain, pembatasan ini akan mengganggu bisnis sebagian besar masyarakat. Khususnya, yang berpendapatan menengah.

Kalangan ini, dianggap tidak layak mendapatkan subsidi. Tetapi juga, tidak cukup mampu untuk menggunakan LPG nonsubsidi.

Mengingat selisih harganya cukup signifikan, yakni sekitar Rp10.000-Rp12 ribu per Kg.

Keterpaksaan untuk menggunakan LPG nonsubsidi bagi kalangan menengah, justru hal ini hanya akan memperburuk kondisi ekonomi dan menyeret mereka ke tingkat ekonomi bawah. Bahkan, miskin.

Dengan kata lain, kenaikkan harga komoditas energi seperti LPG ini akan membawa efek domino buruk bagi kesejahteraan masyarakat.

Transisi pemanfaatan energi, memang pada dasarnya akan terjadi dan perlu dilakukan.

Namun, jika penanganannya keliru, yang terjadi adalah munculnya masalah-masalah baru yang lebih buruk daripada masalah sebelumnya.

Setelah mendapat protes dari masyarakat terkait sulitnya mendapat gas LPG 3 Kg, DPR dan pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengaktifkan kembali pengecer LPG 3 Kg per Selasa, 4 Februari 2025. Meski demikian, kelangkaan gas masih terus berlangsung.

Pemerintah bukannya tidak menawarkan alternatif untuk LPG. Untuk keperluan memasak rumah tangga, pemerintah mengusulkan utamanya penggunaan kompor listrik.

Selain kompor listrik, dimungkinkan juga penggunaan pipa gas alam maupun gas alam terkompresi (compressed natural gas/CNG) sebagai pengganti LPG.

Sebagai perbandingan, nilai kalor CNG adalah sebesar 53,6 MJ per kilogram, sedikit lebih tinggi daripada LPG.

Di sisi lain, kompor listrik digembar-gemborkan sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan hemat energi.

Di satu sisi, klaim terkait ramah lingkungan tidak sepenuhnya keliru.

Walau mayoritas listrik Indonesia berasal dari batu bara dengan efisiensi elektrik-termal yang tinggi, kompor listrik melepaskan emisi ekuivalen sebesar 964 g CO2 per kWh.

Sementara itu, kompor gas LPG dengan efisiensi konversi relatif rendah, melepaskan emisi ekuivalen sebesar 1.365 g CO2 per kWh.

Sampai sini tidak ada masalah. Problem dari kompor listrik, adalah kebutuhan voltase listrik rumah yang sangat tinggi (minimal 2200 VA) dan biaya energi yang lebih mahal daripada LPG subsidi.

Ditambah lagi, kompor listrik tidak portabel. Sehingga, tidak cocok digunakan oleh pedagang keliling.

Belum lagi membahas konflik kepentingan dalam promosi kompor listrik, yakni untuk menyerap kelebihan produksi listrik di Pulau Jawa.

Secara teoretis, gas alam dapat menjadi alternatif cukup layak untuk substitusi LPG.

Namun, kendala utama gas alam terdapat pada karakteristik fisisnya yang sulit untuk dicairkan atau dikompres.

Gas alam, baru mencair pada temperatur -169°C. Sedangkan mengompres gas alam untuk dimasukkan tabung membutuhkan tekanan setidaknya 20125 bar atau sekitar 200—250 kali tekanan udara atmosfer.

Oleh karena itu, gas alam lebih sering didistribusikan melalui jaringan perpipaan, seperti yang dilakukan di Amerika Utara dan Eropa.

Distribusi melalui perpipaan ini, agak problematik dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan kepulauan dan memiliki kontur geologis serta distribusi penduduk yang cenderung beragam.

Dari sini jelas, tidak ada solusi teknis yang dapat begitu saja menggantikan LPG sebagai bahan bakar rumah tangga.

Kedua alternatif paling memungkinkan, yakni kompor listrik dan gas alam, memiliki titik lemah yang menyebabkan tidak ada dari keduanya yang mampu menggantikan LPG secara keseluruhan.

Di sisi lain, pemerintah pun tidak cukup serius dalam mengembangkan opsi alternatif ini jika harapannya adalah mengurangi beban subsidi.

Kebijakan yang diambil justru hanya sebatas mengurangi subsidi LPG. Tetapi, tetap saja mengimpor LPG.

Ketiadaan visi pengelolaan energi yang berkelanjutan dan berketahanan tinggi serta program transisi yang jelas, hanya menunjukkan bahwa jajaran penguasa ini inkompeten dan gagal menjalankan tugasnya dengan baik.

Perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer untuk menjadi pangkalan resmi agar bisa mendapatkan stok gas melon adalah keniscayaan dalam system Kapitalisme.

Kebijakan ini, bukan hanya terkait pergantian menteri dan pejabat. Tetapi, sebuah kosekuensi atas system ekonomi Kapitalisme yang dipilih negeri ini sebagai landasan berekonomi.

Sebab, salah satu sifat system ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai dari bahan baku hingga bahan jadi.

Sistem ini juga, meniscakan adanya liberalisasi migas yang meberi jalan bagi korporasi mengelola sumber daya alam berlimpah yang sejatinya milik rakyat.

Meski negeri ini memiliki kekayaan minyak dan gas bumi yang luar biasa besar, namun akibat tata kelola kapitalisme, rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatannya dengan murah bahkan gratis.

Sebab, negara harus melegalkan pengelolaannya mulai dari produksi hingga distribusi dengan orientasi bisnis.

Oleh karena itu, perubahan kebijakan apapun yang ditempuh pemerintah pada ujungnya tidak akan memudahkan rakyat memperoleh haknya terhadap migas yang hakikatnya merupakan harta milik rakyat.

Mirisnya, pada saat yang sama, kepemimpinan sekuler yang diadopsi negeri ini telah menjadikan negara lari dari tanggung jawab sebagai penjamin pemenuhan kebutuhan asasi rakyatnya.

Pandangan dalam Islam

Kepemimpinan ini juga, telah menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus umat (raa’in).

Sebaliknya, penguasa hanya bertindak sebagai pembuat regulasi untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu atau pemilik modal meski rakyat harus dikorbankan.

Berbeda dengan pengelolaan migas sebagai sumber energi di bawah penerapan sistem Islam yang menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum, sebab demikianlah faktanya.

Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Baca juga:  Piring Anyam asal Cijati Sumedang, Jadi Buruan Pengusaha Hotel dan Restoran di Indonesia

Perserikatan di sini, bermakna perserikatan pemanfaatan.

Artinya, semua rakyat boleh memanfaatkannya dan pada saat yang sama, hatra-harta yang termasuk dalam ketiganya tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja seperti korporasi.

Sementara, sebagian yang lain dihalangi atau dilarang. Artinya dalam hadist tersebut ada izin dari As-Syar’i -Allah SWT- kepada semua orang secara berserikat untuk memanfaatkan jenis harta itu.

Minyak dan gas bumi, merupakan jenis harta yang masuk kategori api sebagai sumber energi yang dibutuhkan oleh semua orang.

Oleh karena itu, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini kepada perorangan atau perusahaan sebagaimana dalam sistem ekonomi Kapitalisme.

Islam juga, telah mewajibkan negara sebagai wakil umat untuk mengelola sumber daya migas tersebut.

Di mana, hasilnya harus dikembalikan atau didistribusikan untuk kepentingan rakyat.

Dalam hal pendistribusiannya, pemimpin daulah berhak membagikan minyak dan gas bumi kepada yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka dan pasar-pasar mereka secara gratis.

Boleh juga, menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya atau dengan harga pasar.

Negara, tidak melarang pengecer untuk ikut mendistribusikan migas ini kepada masyarakat.

Justru, negara sangat terbantu untuk menjamin pendistribusiannya hingga ke wilayah pelosok.

Status milkiyyah ‘ammah ini meniscayakan bahwa, LPG dan gas alam haram dimiliki oleh swasta. Mengingat, penguasaan oleh swasta menghalangi umat dari mendapatkan haknya.

Dari sini, wajib bagi negara untuk mengelola SDA energi sebagai wakil dari umat selaku pemilik asli dari SDA tersebut.

Swasta, jika dilibatkan, hanya berperan sebagai ‘ajir untuk menyediakan jasa eksplorasi, penggalian, lifting, dan sebagainya; bukan sebagai pemilik dan pengelola penuh.

Dengan demikian, seluruh kapasitas produksi migas harus pertama-tama dikelola sepenuhnya oleh negara (dengan bantuan swasta jika diperlukan sebatas penyedia jasa), baru kemudian didistribusikan ke masyarakat.

Kewajiban ini juga, selaras dengan taklif syarak terhadap penguasa umat Islam.

Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pengurus dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Ini dari segi kewajiban penguasa, terkait kepengurusan umat dan pengelolaan SDA.

Dari segi geopolitik, sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu.

Tidak ada sekat-sekat imajiner, yang memisahkan antara umat Islam di suatu negeri dan negeri lainnya. Ataupun, memisahkan mereka sebagai dua identitas bangsa yang berbeda.

Walhasil, SDA migas yang terdapat di kawasan Semenanjung Arab adalah SDA milik umat Islam di Indonesia, Malaysia, Brunei, Bangladesh, dan lainnya.

Bukan milik bangsa Arab, atau negara Arab Saudi maupun Uni Emirat Arab semata.

Dari sini, konsep “impor” yang diberlakukan pada barang yang berasal dari luar negeri, tidak berlaku dalam aturan Islam selagi barang itu berasal dari wilayah kaum muslim. Termasuk, migas dan produk turunannya, yaitu LPG.

Oleh sebab itu, krisis LPG sebenarnya tidak serelevan sekarang jika SDA negeri kaum muslim dikelola sebagai milkiyyah ‘ammah untuk seluruh umat Islam.

Distribusi LPG dari semenanjung Arab ke Indonesia, hanya menjadi distribusi ke wilayah kaum muslim yang lain alih-alih diberlakukan aturan ekspor-impor.

Dengan demikian, umat Islam bisa mendapatkan haknya secara penuh, alih-alih dikuasai segelintir oligarki bisnis maupun kerajaan.

Dari segi teknis, ketahanan energi negara akan lebih terjaga. Dengan kata lain, diperlukan diversitas energi untuk keperluan rumah tangga.

LPG tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber energi rumah tangga tunggal, tetapi harus diversifikasi.

Dua opsi yang paling logis sebagai alternatif LPG adalah gas alam dan listrik, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Mengingat gas alam dan listrik tidak bisa sepenuhnya menggantikan LPG, maka posisi keduanya adalah melengkapi LPG sebagai penyuplai energi rumah tangga.

Gas alam dapat didistribusikan melalui jalur perpipaan di kota-kota besar dengan ruang cukup untuk pemasangan pipa.

Untuk daerah lain yang tidak terlalu padat, atau daerah yang berkenan menggunakan, dapat digunakan sejenis reservoir CNG untuk menyimpan gas alam dalam volume atau massa tertentu. Yang kemudian, dialirkan ke kawasan perumahan menggunakan pipa.

Hal ini, lebih memungkinkan jika daerah untuk distribusi gas alam cukup jauh dari sumber gas. Atau, infrastruktur perpipaan yang dibutuhkan terlalu jauh dari pusat distribusi.

Dari sini, tersisa LPG yang dapat didistribusikan untuk daerah-daerah yang lebih sulit terjangkau oleh jaringan distribusi gas alam. Maupun, tidak cukup mendukung dan tidak memerlukan perangkat masak elektrik.

LPG juga, dapat didistribusikan ke para pedagang yang kondisinya membutuhkan sumber energi portabel.

Dengan diversitas sumber energi dan peta distribusi yang tepat, ketersediaan energi rumah tangga dapat dijamin dengan baik.

Sektor kelistrikan dan migas berada di bawah pengurusan negara yang mewakili umat. Sehingga swasta, apalagi asing, tidak bisa mengintervensi kebijakan demi keuntungan pribadi sembari merugikan umat.

Maka, tidak ada “peluru perak” yang bisa menembus seluruh masalah yang melingkupi penyediaan energi rumah tangga.

Kebutuhan energi yang begitu tinggi pada abad 21 dan populasi manusia yang bertambah banyak, memang pada akhirnya akan menimbulkan masalah.

Tidak hanya secara teknis, tetapi juga non teknis, mulai dari kepentingan politik hingga bisnis.

Solusi teknis, sebaik apa pun, seefektif apa pun, dan secanggih apa pun, akan mental jika aspek-aspek nonteknis tersebut tidak diurai dan diselesaikan.

Peradaban kapitalisme neoliberal, yang melandaskan ekonominya pada permodalan swasta dan privatisasi sektor vital, adalah biang kerok kekacauan dalam pemenuhan sektor energi rumah tangga.

Nasionalisme “mazhab” Sykes-Pycot sukses membuat distribusi SDA milkiyyah ‘ammah yang seharusnya tanpa batas, malah diatur berdasarkan konsep impor-ekspor.

Persoalan LPG 3 Kg, hanyalah salah satu dampak dari dibuangnya hukum Allah dari tata kehidupan. Juga, akibat diterapkannya ideologi kufur Kapitalisme buatan manusia yang lemah dan terbatas untuk mengatur kehidupan manusia. Tidak ada keadilan dan jaminan kehidupan yang merata bagi seluruh umat manusia, tidak hanya muslim. ***