BERITA NASIONAL, ruber.id – Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) merespons usulan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah, terkait dengan perlunya penyesuaian besaran iuran dan manfaat program Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
Dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Ida menyebut penyesuaian tersebut diperlukan karena adanya kenaikan rasio klaim dari kedua program tersebut.
Adapun, rasio klaim program JKM BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) mencapai 198,1% pada 2023.
Rasio tersebut, menjadi yang tertinggi sejak 2019. Di mana, pada 2019 rasio klaim program JKM tercatat hanya sebesar 55,6%.
Kemudian, rasionya meningkat menjadi 120,2% pada 2020, dan 185,7% pada 2021, serta 168,1% pada 2022.
Ida khawatir, kenaikan rasio klaim tersebut mampu mempengaruhi kesehatan keuangan program JKM.
Terlebih, menurut perhitungan BPJS Ketenagakerjaan pada 2023, ketahanan dana JKM hanya bertahan 39 bulan.
Sebab, jumlah iuran yang masuk tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan BPJS Ketenagakerjaan untuk membiayai manfaat klaim.
Ketua Komisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi DJSN Muttaqien mengungkap, pihaknya secara rutin melakukan monitoring dan evaluasi terkait dengan program jaminan sosial. Termasuk, terkait ketahanan Dana Jaminan Sosial (DJS) JKK dan JKM.
Bahkan, pada pertengahan 2021, DJSN telah memonitor adanya penurunan ketahanan dana JKM tersebut.
Menurut Muttaqien, penurunan ketahanan dana JKM tersebut terjadi lantaran beberapa hal.
Pertama, karena terjadinya perbaikan untuk peningkatan manfaat pada 2019.
Kedua, adanya rekomposisi iuran untuk JKP. Ketiga, adanya kebijakan relaksasi iuran di masa pandemi.
Terakhir, lantaran peningkatan angka kematian peserta pada masa pandemi lalu.
“Secara perhitungan teknokratis, apabila tidak ada perbaikan kebijakan maka ketahanan dana JKM diperkirakan akan semakin menurun signifikan pada 2027,” kata Muttaqien.
Berdasarkan hal tersebut, Muttaqien menyebut, DJSN pun setuju dengan usulan Menaker untuk kementerian/lembaga mendiskusikan secara intensif besar iuran dan perbaikan kebijakan terkait JKK dan JKM tersebut, terutama untuk segmen BPU.
Muttaqien merekomendasikan penguatan perhitungan aktuaria harus dijadikan dasar utama pemerintah untuk menentukan besar iuran dan beserta skenario kebijakan yang akan diambil dan disampaikan kepada Presiden.
Di samping itu, BPJS Ketenagakerjaan juga harus terus melakukan perbaikan kinerjanya untuk pencapaian peserta aktif dan kolektibilitas iuran.
“Setelah perhitungan teknokratis solid dan semua skenario perbaikan kebijakan sudah disiapkan, baru ditentukan waktunya (penyesuaian iuran),” kata Muttaqien.
Sebelumnya, Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 memperkirakan rasio klaim untuk program JKM BPJS Ketenagakerjaan memiliki tren meningkat menjadi 102,5% pada 2026.
Dalam RAPBN 2024, dikemukakan rasio klaim untuk program JKM tahun 2024 diproyeksikan mencapai 87,2%. Serta, memiliki tren meningkat dalam jangka menengah dan proyeksi aset neto tahun 2024 sebesar Rp8.550,4 miliar.
Adapun sebagai konsekuensinya, kesehatan keuangan program JKM berpotensi mengalami penurunan dan diproyeksikan mulai tahun 2027 aset neto DJS Kematian berisiko negatif sehingga diperlukan mitigasi atas kondisi tersebut.
Sebagai informasi, menurut PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JKM dan JKK, besaran iuran JKK yang harus dibayar peserta BPU adalah 1% dari penghasilan.
Nominalnya, yaitu paling sedikit Rp10.000-Rp207.000. Sementara, besaran iuran untuk JKM adalah sekitar Rp6.800 per bulannya.
Di tempat lain, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Sumedang, Rita Mariana memberikan tanggapannya terhadap usulan menteri ketenagakerjaan terkait penyesuaian iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut Rita, respons dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang setuju dengan usulan tersebut menjadi sinyal penting bagi perlunya perbaikan dalam sistem ini.
“Kami mengapresiasi dukungan dari DJSN terhadap usulan Menteri Ketenagakerjaan terkait penyesuaian iuran BPJS Ketenagakerjaan.”
“Ini menegaskan, pentingnya langkah-langkah perbaikan untuk menjaga kesehatan keuangan program Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),” sebut Rita.
Rita menjelaskan, meningkatnya rasio klaim dari program JKM bagi pekerja bukan penerima upah (BPU) menjadi sinyal peringatan yang tidak bisa diabaikan.
“Kenaikan rasio klaim program JKM dari tahun ke tahun menunjukkan adanya tekanan terhadap kesehatan keuangan program ini.”
“Hal ini, harus menjadi perhatian bersama untuk menjaga keberlangsungan program jaminan sosial bagi para peserta.”
“Semoga, melalui rencana penyesuaian besaran iuran dan manfaat program Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) ini, keputusan akhir nantinya akan berdampak positif kepada seluruh pihak. Khususnya, bagi para peserta yang terdaftar pada program-program tersebut,” kata Rita.