twads.gg

Rakyat Dituntut Pintar, Tapi Sulit Akses Belajar?

Rakyat Dituntut Pintar, Tapi Sulit Akses Belajar
Foto ilustrasi from iStockPhoto

OPINION, ruber.id – Akses untuk mendapatkan pendidikan sulit dijangkau anak-anak negeri ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa, rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya 9,22 tahun, setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP).

Hal ini menunjukkan bahwa, penduduk yang belum dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi masih banyak.

OLEH: Yanyan Supiyanti, A.Md. (Pendidik Generasi asal Rancaekek, Bandung)

Akar Masalah

Hal di atas, diakibatkan dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas, yang bisa diperjualbelikan.

Sehingga, yang bisa mengakses hanya orang kaya kemiskinan yang tinggi. Sedangkan, orang miskin makin sulit dalam mengakses sarana pendidikan bahkan untuk pendidikan dasar.

Negara memang sudah memberikan berbagai program yang diharapkan bisa menjadi solusi. Seperti KIP, ‘sekolah gratis’, berbagai bantuan yang lain.

Tapi realitanya, belum semua rakyat dapat mengakses layanan pendidikan, tidak semua orang dapat mengikuti program tersebut, dapat dikatakan hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya pun terbatas.

Kondisi hari ini, pendidikan diswastanisasi, dengan biaya yang mahal tak terjangkau rakyat kecil untuk sekolah dengan fasilitas memadai.

Ketimpangan akses layanan pendidikan di kota dengan di desa, dan kurikulum pendidikan yang tergantung pasar membuat anak didik kebingungan sendiri.

Baca juga:  Semangat Ramadan, Semangat Perjuangan dan Perubahan

Pendidikan dijadikan sebagai alat pencetak tenaga kerja yang murah, bukan lagi sebagai hak dasar rakyat.

Ditambah efisiensi anggaran pendidikan, yang makin memperburuk kondisi hari ini.

Tidak dimungkiri bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor penghambat masyarakat dalam mengakses pendidikan. Putus sekolah karena terkendala biaya pendidikan yang kian mahal.

Ada juga, yang tidak lanjut sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena ingin membantu orang tua mencari penghidupan yang layak.

Meskipun bersekolah di sekolah negeri gratis, tidak menjamin tidak adanya biaya lain yang harus dipenuhi.

Infrastruktur publik yang terbatas menjadikan masyarakat kesulitan mengakses fasilitas pendidikan yang jauh dari tempat tinggal mereka.

Kisah miris anak-anak desa terpencil menyebrangi sungai untuk pulang pergi ke sekolah karena kondisi jembatan yang rusak.

Bahkan, ada yang bergelantungan di atas tali dengan risiko nyawa melayang.

Keadaan ini, menjadi alasan bagi anak-anak untuk tidak melanjutkan sekolah.

Sarana dan fasilitas pendidikan yang terbatas bahkan tidak layak banyak ditemukan di daerah/pelosok negeri ini.

Kondisi sekolah yang rusak dengan atap berlubang, meja dan kursi yang jauh dari layak menghiasi layar kaca.

Beberapa faktor di atas melatarbelakangi kesenjangan pendidikan hari ini.

Baca juga:  Ponpes Nurul Firdaus Ciamis, Optimalisasi Santri Berprestasi

Hal ini, disebabkan oleh sistem pendidikan yang hari ini diterapkan negeri ini yakni sistem pendidikan kapitalisme yang menjadikan sektor pendidikan sebagai komoditas.

Jika ingin mendapatkan pendidikan dengan fasilitas bagus dan memadai, maka harus bersekolah di sekolah dengan biaya yang mahal.

Sebaliknya, jika ingin mendapatkan akses dan layanan sekolah yang gratis, maka harus siap dengan fasilitas seadanya.

Pendidikan dalam Islam

Dalam sistem Islam, pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara tanpa memandang miskin ataupun kaya.

Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata. Pendidikan dalam Islam, akan menciptakan generasi peradaban unggul yang gemilang. Sebagaimana, pada masa kejayaan Islam selama hampir 14 abad lamanya hingga menguasai dua pertiga dunia.

Pola sikap dan pola pikir anak didik akan, dibentuk oleh negara agar sesuai dengan Islam.

Negara, memiliki sumber dana yang mumpuni untuk mewujudkannya.

Pendidikan untuk pembiayaannya diambil dari Baitul Mal. Khususnya, pos fai’, kharaj, dan kepemilikan umum.

Negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari warganya. Jikapun harta di Baitul Mal tidak mencukupi, maka negara akan memungut pajak (dharibah) dari kaum muslim yang kaya saja dan akan dihentikan setelah mencukupi.

Negara akan menyediakan sarana dan fasilitas yang mendukung proses pembelajaran, seperti perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain.

Baca juga:  Pembatalan Ijazah Mahasiswa, Tuai Reaksi Keras Para Alumni

Negara juga, akan membangun infrastruktur publik yang merata dan memadai hingga ke pelosok negeri.

Tidak akan ada kisah miris anak didik bertaruh nyawa, untuk berangkat dan pulang sekolah.

Selama masa kepemimpinan Islam, para Khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi Islam dan melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan.

Fasilitas yang tersedia dan memadai untuk auditorium, gedung pertemuan, asrama mahasiswa, perumahan dosen dan ulama, dan lain-lain.

Sekolah tersebut juga akan dilengkapi dengan kamar mandi, dapur, ruang makan, dan taman rekreasi.

Sekolah tinggi Islam yang pernah berdiri ialah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah An-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo.

Madrasah Nizhamiyah, madrasah terbaik saat itu pernah menjadi standar bagi Irak, Khurasan (Iran), dan lain-lain.

Negara dalam sistem Islam, akan senantiasa menjalankan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan dengan segala upaya untuk dapat memenuhi hak dasar setiap individu rakyatnya.

Kenyamanan anak didik selama menempuh pendidikan serta kesejahteraan para pendidik dalam mendidik, dijamin pemenuhannya oleh negara secara optimal.

Oleh karena itu, terciptalah generasi yang bertakwa, cerdas, dan gemilang, serta siap menjadi mercusuarnya dunia kembali. Wallahualam bissawab. ***