BERITA SUMEDANG, ruber.id – Atep Bratasena, 30, seorang dalang muda berbakat asal Dusun Kojengkang, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang berhasil menghidupkan kembali seni wayang golek dengan inovasi yang memadukan tradisi dan modernitas.
Melalui keahliannya dalam mendalang dan membuat wayang golek, ia telah menarik perhatian masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga mancanegara.
Selama lebih dari 15 tahun, Atep mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan seni tradisional ini.
Kecintaannya pada wayang golek bermula dari cerita-cerita tradisional yang penuh makna.
“Awalnya, saya hanya menonton. Namun, semakin lama, saya merasa tertarik untuk mempelajari lebih dalam,” ungkap Atep, Senin (27/1/2025).
Ia pun menimba ilmu langsung dari para dalang senior. Termasuk, almarhum Dalang Eka Supriadi dari Karawang.
Dalam Eka, menjadi mentor dan inspirasinya dalam menyampaikan cerita dengan cara sederhana tetapi penuh makna.
Atep, dikenal memiliki gaya mendalang yang unik.
Ia tidak hanya mengandalkan teknik tradisional tetapi juga menambahkan unsur modern, seperti efek suara dan visual yang memukau.
Salah satu inovasinya, yakni penggunaan ledakan kecil di atas panggung untuk meningkatkan dramatisasi cerita.
“Saya ingin membawa seni wayang golek lebih dekat dengan generasi muda. Dengan sedikit sentuhan modern, pertunjukan ini menjadi lebih menarik tanpa kehilangan esensi tradisinya,” jelas Atep.
Terampil Membuat Wayang Golek, Terjual hingga Belanda
Selain sebagai dalang, Atep juga menciptakan wayang golek dengan tangannya sendiri.
Proses pembuatan dimulai dari kayu albasia mentah hingga menjadi produk akhir yang berkualitas tinggi.
Wayang buatannya, dijual dengan harga mulai dari Rp300.000 hingga Rp5 juta per buah. Tergantung pada tingkat kerumitan.
Karya Atep, bahkan telah menembus pasar internasional. Seperti Belgia dan Belanda, dengan pesanan rutin setiap bulan.
“Saya sangat bangga, ketika karya saya bisa diterima di luar negeri. Ini menjadi motivasi untuk terus menghasilkan yang terbaik,” tuturnya.
Namun, melestarikan seni tradisional bukan tanpa tantangan.
Atep harus bersaing dengan produk wayang murah yang kualitasnya jauh di bawah standar.
Meski demikian, ia tetap berpegang pada prinsip kualitas. Selain itu, ia aktif mengadakan workshop untuk generasi muda.
“Saya ingin anak-anak muda mencintai seni ini. Jika bukan kita yang melestarikannya, siapa lagi?” katanya.
Dalam memasarkan karyanya, Atep juga memanfaatkan media sosial seperti TikTok dan Facebook.
Platform ini, membantunya menjangkau audiens yang lebih luas. Termasuk, generasi muda yang mungkin belum familiar dengan tradisi wayang golek.
“Dengan media sosial, wayang golek bisa dikenal lebih luas. Saya ingin seni ini terus hidup di tengah modernisasi,” tambahnya.
Atep berharap, usahanya dapat menjaga warisan leluhur agar tetap relevan di era modern.
“Wayang golek adalah bagian dari identitas budaya kita. Saya ingin seni ini terus dicintai dan dilestarikan oleh generasi mendatang,” ucap Atep.
Melalui dedikasinya, Atep Bratasena telah membuktikan bahwa seni tradisional memiliki tempat di hati masyarakat. Baik lokal, maupun global.
Karyanya, tidak hanya menjadi simbol pelestarian budaya. Tetapi juga, inspirasi bagi generasi muda untuk mencintai warisan leluhur.***