BERITA TASIKMALAYA, ruber.id – Grup Sandiwara Sunda “Rindoe Order” menyuarakan pesan moral kepada khalayak melalui Drama Musikal Folklore yang berisi pantun atau sisindiran berbahasa Sunda.
Drama musikal itu mementaskan karakter kakek dan nenek yang riang dan jenaka.
Pertunjukkan itu menjadi acara pembuka “Sosialisai Peran Penting Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Dalam Pengembangan Daerah”, di Ballroom Grand Metro, Jalan H Z Mustofa, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa, 1 Maret 2022 siang.
Pementasan sandiwara ini digelar dalam acara sosialisasi yang digagas Sekretariat Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Dan dihadiri Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Kebudayaan dari Komisi X DPR-RI, Ferdiansyah dan Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tasikmalaya, Hadian.
Hadir juga Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya Iin Aminudin, juga lebih dari 200 orang peserta sosialisasi dari berbagai kalangan.
Mulai dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Seni Budaya, MGMP Sejarah, dan pelaku seni.
Dalam adegan yang memerankan aki dan nini tersebut, membahas fenomena kehidupan masa kini melalui sisindiran sebagai dialog dalam penuturan cerita.
Dialog kedua pemeran utama juga sarat pesan moral yang penuh makna bagi masyarakat luas.
Naskah sisindiran dalam drama itu ditulis oleh Budi Riswandi yang dikenal dengan sapaan Bode.
Pertunjukkan itu juga disutradarai Bode yang didukung delapan orang kru.
Dentingan dawai kecapi mengiringi rajah bubuka yang menjadi awal adegan sandiwara.
Beragam pesan dalam dialog dikemas dalam dendang kawih tokoh nenek-nenek.
Salah satunya lantunan kawih “Nelengnengkung” yang sarat pesan kepada generasi muda agar tidak bersikap sombong kepada siapa pun.
Sebagai manusia, dituntut menganut ilmu padi yang bermakna: semakin berisi, semakin merunduk.
Sementara sosok kakek yang menjadi lawan dialog sang nenek, aksinya kerap mengundang tawa para penonton lantaran berkostum menyerupai anak baru gede (ABG).
“Intisari sisindiran ini, merupakan pesan moral bagi masyarakat ketika menduduki jabatan. Jangan pernah semena-mena serta jangan menghalalkan segala cara,” jelas Bode di sela acara.
Beberapa bait sisindiran diucapkan dengan cara bergantian oleh pemeran nenek dan kakek.
Salah satunya mengimbau masyarakat agar mampu beradaptasi, melek teknologi.
Namun, tidak melupakan budaya adiluhung warisan nenek moyang.
Alasannya, apabila sudah lupa budaya warisan nenek moyang, kehidupan masyarakat akan carut-marut tak tentu arah.
Berikut ini salah satu sisindiran yang diucapkan:
Meuncit angsa eukeur semah
meulah tangkar panggedena
ciri bangsa nu gede mah
kuat akar budayana
Dalam adegan penutup drama musikal tersebut, kedua peran mengajak para penonton untuk bersama-sama melantunkan kawih sisindiran berjudul “Ayang-ayang Gung“.
Lantunan yang kerap diungkapkan orang-orang tua zaman dahulu itu, berisi cerita tentang seseorang yang menginginkan jabatan dalam pemerintahan dengan menghalalkan segala cara.
Penulis: Andy Kusmayadi