TASIKMALAYA, ruber.id – Pada Mei 2019 lalu, KPK menetapkan Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman sebagai tersangka kasus suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Tasikmalaya tahun anggaran 2018.
Namun hingga saat ini, kasus hukum penetapan tersangka yang melekat pada Wali Kota Tasikmalaya ini tak kunjung jelas.
Pengamat Sosial dan Tata Kota Nanang Nurjamil angkat bicara soal status hukum Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman.
Menurut Kang Jamil (Sapaan akrab Nanang Nurjamil), ketidakjelasan hukum status tersangka Wali Kota Tasikmalaya oleh KPK ini jangan dibiarkan menggantung tanpa kejelasan.
“Intinya harus ada kepastian hukum yang jelas, terkait status tersangkanya ini.”
“Jangan dibiarkan menggantung tanpa kejelasan proses hukumnya seperti sekarang ini.”
“Kasian beliau (Budi Budiman), dan kami sebagai warganya, tentu merasa malu kalau punya pemimpin menyandang status sebagai tersangka KPK,” jelasnya ditemui di rumahnya, Jumat (31/7/2020).
Kang Jamil menyebutkan, sejak awal ia berpendapat sekaligus mengajak kepada semua pihak untuk menyikapi masalah ini pada norma dan etika.
Karena, kata dia, jika mengacu pada TAP MPR Tahun 2001 Nomor VI, tentang Etika Berbangsa dan Bernegara.
Secara tegas menuntut elit politik, atau orang-orang yang menjabat karena proses politik.
Seperti anggota DPR, DPD, DPRD, Bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden, ketika sudah menjadi tersangka, apalagi tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi, maka harus mengundurkan diri.
“Untik tersangka suap atau gratifikasi, sama saja, karena suap menyuap juga adalah perbuatan tindak pidana,” jelasnya.
Hal ini, kata Kang Jamil, sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 209 ayat (1) dan sesuai ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU Nomor 20/2001.
Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.
Di mana, pelaku pemberi suap/gratifikasi diancam dengan hukuman pidana selama 5 tahun penjara.
Dan maksimal penjara 20 tahun hingga seumur hidup, bagi penerima tersebut.
“Jika ditinjau dari aspek norma dan etika, soal kemudian wali kota mau mundur atu tidak, maka itu kembali pada sikap keputusan beliau.”
“Mau mundur sendiri dengan dasar norma dan etika sebagaimana TAP MPR VI/2001, atau mau menunggu sampai ditetapkan oleh KPK harus mundur,” jelasnya.
Kang Jamil mengatakan, jika melihat reaksi dan tuntutan publik, saat ini memang terlihat adem.
“Saya belum mendapatkan informasi bagaimana hasil dari rekan-rekan aktivis yang tergabung dalam Formal, yang beberapa pekan yang lalu katanya berangkat ke Jakarta menemui KPK dan Ombudsman.”
“Yang menanyakan soal status dan proses hukum tersangka Wali Kota Tasikmalaya ini.”
“Tetapi, kalau secara pribadi, saya sebagai warga Kota Tasikmalaya sekaigus juga sebagai sahabat beliau, tentunya tetap berharap Pak Wali bisa bebas dari segala tuntutan hukum dan status tersangkanya segera dicabut oleh KPK.”
“Jika memamg tidak cukup bukti, jangan digantung dengan ketidakjelasan seperti sekarang ini.”
“Kasian beliau, karena bagaimana pun akan ada ganjalan dalam melaksanakan program dan kebijakannya sebagai kepala daerah,” jelasnya.
Kang Jamil mencontohkan, ketika Wali Kota Tasikmalaya melantik dan mengambil sumpah jabatan ASN di lingkungan Pemkot Tasikmalaya.
Tentunya, kata dia, ini akan menjadi ironis dan kontradiktif, karena ketika mengambil sumpah jabatan ASN tersebut tentunya harus clear and clean dari praktek KKN.
“Sementara beliaunya sendiri, menyandang status sebagai tersangka suap yang telah ditetapkan oleh KPK.”
“Apakah sah secara hukum status sumpahnya? Kalau sumpahnya tidak sah, maka tentu jabatannya juga menjadi tidak sah,” terangnya.
Begitu pula, kata Kang Jamil, ketika Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman menetapkan kebijakan APBD dan kebijakan-kebijakan lainnya.
“Tentunya, mengharuskan menerapkan prinsip-prinsip clean government and good governance,” sebutnya. (R020/Indra)
BACA JUGA: KPK Periksa Seorang Saksi Terkait Kasus Suap Tersangka Walikota Tasikmalaya