Harga Migor Mahal, Pedagang Gorengan di Sumedang Menjerit

Harga Migor Mahal, Pedagang Gorengan di Sumedang Menjerit
Pedagang gorengan di Sumedang keluhkan mahalnya migor, Jumat (18/3/2022). dedi/ruber.id

BERITA ruber.id – Mahalnya harga minyak goreng atau migor yang mahal membuat pedagang gorengan di Kabupaten Sumedang menjerit.

Pedagang gorengan di Sumedang menjerit karena tingginya harga minyak goreng membuat ongkos produksi naik, sedangkan harga jual tetap sama.

Salah seorang pedagang kaki lima, Eat Saatul Kodariah, 52, yang berjualan gorengan serta aneka jajanan mengeluh akibat kenaikan harga minyak goreng ini.

Di tengah ekonomi yang terasa semerawut, ditambah lagi kenaikkan harga migor sebagai salah satu kebutuhan dapur.

Ibu dari 5 anak ini, tetap tegar dan terus berjuang, untuk hidupnya dengan menekuni profesinya sebagai pedagang kaki lima.

Eat menuturkan, meski naiknya harga minyak goreng hampir 50% dari sebelumnya, ia tetap menjual gorengannya dengan harga Rp500 per biji.

Baca juga:  Peringati HUT ke 12, Bawaslu Sumedang Donor Darah, Bagikan Masker dan Hand Sanitizer

Demikian, meski terhitung minim keuntungan, ia tidak kuasa menaikkan harga gorenganya karena takut tidak laku dijual.

“Ya keuntungan pasti berkurang, bahkan sangat minim. Pun jika dagangan laku terjual habis, seandainya dagangan saya tersisa, ya boro-boro untung,” keluhnya kepada ruber.id, Jumat (18/3/2022).

Melihat kebutuhan minyak goreng untuk berjualan sehari-hari, Eat mrngaku bahwa sebelumnya, untuk membeli 0.5 Kg minyak kiloan. Ia hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp11.000, saat harga 1 Kg minyak kiloan seharga Rp20.000.

“Sekarang, uang Rp6000 itu hanya bisa membeli minyak sebanyak 1/4 Kg saja. Apalagi minyak kemasan, harganya mencapai Rp48.000 per 2 Kg,” jelasnya.

Migor Sisa Jualan Digunakan untuk Masak di Rumah

Eat menyebutkan, meskipun seperti itu keadannya, ia masih bisa menggunakan sisa penggorengan. Untuk kembali digunakan menggoreng ayam dan telur di rumahnya.

Baca juga:  Air Sungai Cianda Meluap, Jembatan Sementara di Conggeang Sumedang Ambruk

“Mau gimana lagi, ya jalani saja. Kalau dibilang berat, memang berat, malah saya juga kadang merasa kasian ke para pedagang yang tentu penghasilannya di bawah saya. Bingung, tapi harus tetap dijalani, namanya hidup,” ucapnya dengan nada pasrah.

Eat yang sehari-harinya berjualan di depan gereja katolik yang berlokasi di Jqlan Mqyor Abdurahman, Sumedang ini berharap, akan ada solusi kemajuan untuk kehidupannya.

Sehingga ia, bisa kembali merasakan berjualan dengan laba, seperti yang ia pernah dapatkan sebelumnya.

“Ya kalau maunya saya, semoga pemerintah membuat harga kembali menjadi standar saja. Biar tidak terlalu terapungkasnyapungkasnya ucapnya.

Penulis: Dedi Suhandi/Editor: R003