Tradisi Unik Ruwatan Tujuh Jumat Perguruan Silat TTKDH Pangandaran

Img wa
MURID-murid Perguruan Silat TTKDH sedang berlatih. dede/ruang berita

PANGANDARAN, ruber — Perguruan Silat Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir (TTKDH) Batukaras, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran memiliki tradisi unik Ruwatan Tujuh Jumat yang harus dilakukan tiap jawara saat akan naik tingkat ke Jurus Kelid.

Salah seorang pelatih di Perguruan Silat TTKDH Batukaras Sidorus Susanto mengatakan, tiap jawara, sebutan untuk pesilat, diharuskan berlatih tiap malam Jumat selama tujuh kali berturut-turut.

Yang mana tiap mata jawara ditetesi air yang sudah diberi doa dan tangan-tangannya diberi pijitan agar mendapatkan kekuatan yang kemudian ditarungkan satu sama lain.

Dan calon jawara yang akan naik tingkatan jurusnya akan melanjutkan jurus dengan bermain pukulan tulang.

“Tradisinya dinamakan Ruwatan Tujuh Jumat, sebab dilakukan tiap malam Jumat selama tujuh kali tanpa bolos satu kali pun,” ujarnya kepada ruber, Jumat (11/1/2019).

Baca juga:  Update Corona Pangandaran, Sabtu 8 Agustus 2020

Dorus menuturkan, Ruwatan Tujuh Jumat merupakan tradisi turun temurun yang berlangsung sejak berdirinya perguruan seni bela diri TTKHD di Banten ratusan tahun lalu.

“Bagi yang sudah melakukan ruwatan itu, biasanya ada ruwatan wajib satu tahun sekali, yakni pada Ruwatan Kecer di bulan Rabiul Awal,” tuturnya kepada ruber, Jumat (11/1/2019).

Awal Berkembang Silat TTKHD 

Kemudian mulai berkembang sejak masuknya TTKHD ke Batukaras pada 1986 yang pada saat itu hanya diikuti kalangan orang tua.

“Karena tiap malam Jumat para orang tua tidak melaut, jadi mereka selalu latihan silat meskipun kondisinya gelap, sebab tidak ada listrik,” katanya.

Dan setelah berkembang, saat ini tidak hanya orang tua saja, kalangan muda mulai pelajar SMA, SMP hingga sekolah dasar mengikuti latihan secara rutin.

Baca juga:  Warga Pangandaran Diminta Waspada Ajaran Aliran Radikal

Namun untuk usia SD hanya diajari dasar-dasarnya saja, karena tulang mereka masih rapuh juga dari sisi psikologinya pun masih belum stabil.

Lebih lanjut Sidorus menyebutkan, seni bela diri ini merupakan permainan santri, untuk menjadi murid di TTKHD tidaklah sulit, asalkan ada izin dari orang tua saja sudah cukup agar tidak terjadi salah paham.

“Lazimnya ada ikrar sérén dari orang tua sebagaimana menitipkan santri ke pesantren, tapi disini belum semuanya seperti itu,” sebutnya.

Melihat kondisi sarana dan prasarana latihan yang kurang memadai, Dorus berharap aada perhatian pemerintah, terutama lampu penerangan.

“Saat ini kami terus latihan dengan sarana seadanya, kemarin sudah mengajukan untuk penerangan, tapi belum ada tindak lanjut,” ungkapnya. dede ihsan

loading…